BAHAN BACAAN
PELATIHAN PENGEMBANGAN KELOMPOK PEREMPUAN
RUANG BELAJAR MASYARAKAT (RBM)
PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
MANDIRI PERDESAAN
Bidang Pengembangan kelompok Perempuan
Kelompok Kerja RBM - 7 Desember 2011
|
PROPINSI JAWA TIMUR
Sekretariat : Jl. Asmorondono No. 26 Kelurahan Tambakbayan 63414
Telp 0352 – 481764
Email : ppk_ponorogo@yahoo.com
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan, PNPM Perdesaan, menerapkan ketentuan OPEN MENU agar memberi cukup ruang bagi masyarakat dalam merencanakan serta melaksanakan program dan kegiatan untuk menjawab kebutuhan masyarakat desa. Desa dengan jumlah orang miskin yang banyak dialokasikan jumlah dana BLM yang lebih tinggi dari desa‐desa dengan jumlah orang miskin sedikit dan sedang sebagaimana tujuan program untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Mengingat rata‐rata nasional tingkat kehadiran perempuan dalam berbagai tahapan kegiatan program yang mengindikasikan bentuk partisipasi perempuan adalah memadai; maka sasaran program saat ini adalah meningkatkan kualitas partisipasi perempuan. Di lokasi dengan jumlah penduduk miskin yang banyak diharapkan usulan kelompok perempuan non‐SPP akan ditujukan untuk pemenuhan standar hidup minimum, bentuk upaya meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Di desa‐desa dengan jumlah penduduk miskin sedikit usulan kelompok perempuan SPP dan non‐SPP dapat diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga anggota kelompok perempuan dengan melibatkan kelompok rumah tangga miskin yang akumulasinya menjadi kesejahteraan masyarakat, dan pada gilirannya meningkatkan kemakmuran desa.
Penekanan pada upaya pemenuhan standar hidup minimum diharapkan dapat membuat masyarakat terdorong memperjuangkan kualitas kehidupan mereka melalui usulan desa, serta meningkatkan kesadaran pihak‐pihak lain agar membantu masyarakat yang belum mengenyam tingkat kehidupan layak untuk dapat mencapainya. Selain itu, diharapkan berkembang kesadaran akan pentingnya pemenuhan standar hidup minimum sebagai bentuk investasi sumber daya manusia karena memungkinkan masyarakat desa yang mengenyam kehidupan standar memiliki kesehatan memadai dan berpendidikan cukup untuk dapat bersaing di pasar kerja atau menciptakan lapangan kerja; dan pada gilirannya diharapkan mereka mampu keluar dari lingkaran setan kemiskinan.
Peningkatan kualitas usulan kelompok perempuan merupakan indikasi peningkatan kualitas partisipasi perempuan, khususnya dalam proses pengambilan keputusan terkait alokasi dan pemanfaatan sumber daya pembangunan yang terbatas yang akan berdampak terhadap kehidupan mereka sebagai bagian dari masyarakat desa serta terhadap lingkungan dimana mereka tinggal.
Gambaran kondisi sebagaimana diatas menjadikan buku pegangan pelatih ini lebih ditekankan pada upaya memotivasi perempuan desa agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan karena ada tujuan yang nyata yang harus dicapai; serta upaya mewujudkan partisipasi perempuan desa agar lebih berkualitas untuk menaikkan tingkat kehidupan masyarakat desa dan generasi penerus.
Upaya meningkatkan pemahaman dan kapasitas para pelaku program dan anggota masyarakat untuk melembagakan partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan dan pembangunan pada umumnya, melalui upaya membudayakan keterlibatan perempuan dalam semua tahapan kegiatan program, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian kegiatan program. Sasaran akhirnya adalah para tokoh perempuan, pimpinan kelompok perempuan dan kader perempuan di desa, semakin luas cakupannya, hingga meliputi masyarakat perempuan desa; sehingga dampaknya diharapkan akan semakin bermakna.
Pelaksanaan kegiatan pelatihan dengan konsep yang dikembangkan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas partisipasi perempuan dalam pembangunan di desa, yang akan diindikasikan dari kecenderungan arah usulan kelompok perempuan pada peningkatkan kualitas kehidupan; sehingga partisipasi perempuan dalam pembangunan menjadi sebuah kebutuhan. Diharapkan akan muncul lebih banyak dukungan untuk membuat lebih banyak perempuan berperan dalam proses pembangunan dan menjadi kader perempuan yang bersedia berperan aktif sebagai pelaku pembangunan. Sasaran tersebut antara lain :
• Para pemimpin kelompok perempuan, termasuk kelompok SPP
• Tokoh/Kader Perempuan desa, termasuk KPMD Perempuan
• Tokoh perempuan tingkat Kecamatan/Kabupaten
• Anggota Lembaga Tingkat Desa (Pemerintah Desa, BPD, LPMD, PKK, dan lembaga lain tingkat
Desa)
• 11 Pelaku PNPM Mandiri Perdesaan di tingkat Kecamatan dan Desa
• Anggota Lembaga antar Desa (Pemerintah Kecamatan, PJOK) dan kelompok peduli tingkat
Kecamatan.
PNPM Mandiri Perdesaan mengajak masyarakat, khususnya kelompok perempuan, untuk meningkatkan partisipasinya dalam program sebagai upaya meningkatkan kapasitas perempuan desa yang akan
meningkatkan kualitas kemandiran dan peran mereka dalam pembangunan desa.
Berpartisipasi dalam program, pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan, memungkinkan kelompok perempuan memahami permasalahan desa dan harapan masyarakat, mempertimbangkan dan memilih kegiatan‐kegiatan untuk mengatasi permasalahan dan/atau untuk memenuhi harapan, serta memutuskan besaran alokasi sumber daya untuk pelaksanaan kegiatan yang telah dipilih. Diharapkan partisipasi kelompok perempuan desa akan berkontribusi mengarahkan distribusi manfaat pembangunan desa sebagaimana yang diharapkan, membuka luas akses mereka terhadap hasil‐hasil pembangunan serta untuk merubah nasib keluarga mereka.
Secara khusus, keterlibatan kelompok perempuan dalam program diharapkan mampu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat desa dengan menjadikan pemenuhan standar hidup minimum sebagai motivasi, sasaran yang akan diperjuangkan pengalokasian dananya melalui program.
HAK RAKYAT ATAS PEMBANGUNAN
Pada hakekatnya pembangunan adalah perluasan akses rakyat terhadap kehidupan yang lebih berkualitas, sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum dan perwujudan keadilan sosisal bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana mandat pembentukan pemerintah Negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, alinea 4).
Upaya mewujudkan ini tidak dan bukan merupakan tanggung jawab tunggal pemerintah semata. Rakyat dalam entitasnya adalah subyek pembentuk dan pemegang kedaulatan hidup bernegara. Kesanggupan dan kesediaan seluruh rakyat mewujudkan kedaulatan hidup bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di lingkungan terkecilnya sekalipun dan dalam peri kehidupan sehari‐hari merupakan penentu, apakah pembangunan dapat berjalan dan mampu mencapai tujuannya.
Hak atas pembangunan bukan semata hak untuk menikmati hasil dan manfaat pembangunan, tetapi mencakup diperolehnya pengakuan dan perlakuan yang adil dan keterlibatan dalam segenap proses pembangunan, serta tanggung jawab bersama untuk menata perikehidupan bersama yang lebih
baik, yakni terselenggaranya pemenuhan dan diperolehnya hak‐hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan
budaya bagi semua warga. Esensi dari hak‐hak pembangunan lainnya yang mencakup menentukan nasib sendiri, partisipasi rakyat, persamaan kesempatan dan peluang, serta menciptakan keadaan yang lebih baik bagi sesama untuk memperoleh hak‐haknya, bukan semata mencakup tangggung jawab pemerintahan negara namun juga menjadi tanggung jawab warga secara perseorang, kelompok/golongan maupun kelembagaan.
Kontribusi rakyat dalam pembangunan membuat mereka memiliki klaim atas hasil‐hasil pembangunan dan dapat mengarahkan distribusi hasil‐hasil pembangunan. Oleh karena itu, hak hak rakyat dalam pembangunan meliputi akses rakyat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, khususnya proses perencanaan pembangunan dan pengambilan keputusan alokasi sumber daya pembangunan. Perluasan kesempatan dan dukungan bagi berpartisipasinya kelompok masyarakat yang relatif tertinggal, yaitu kelompok perempuan dan orang miskin, dalam proses pembangunan dalam pelaksanaan pembangunan menjadi penting karena akan membuka akses kelompok
masyarakat ini terhadap manfaat pembangunan secara langsung ataupun dalam mengarahkan distribusi manfaat pembangunan ke arah yang diharapkan.
STANDART HIDUP MINIMUM
a. Pada dasarnya standar kehidupan suatu masyarakat sangat tergantung pada tingkat kemakmuran, semakin makmur suatu masyarakat semakin tinggi standar hidup masyarakatnya. Sehingga tidak jarang kemiskinan yang terjadi pada masyarakat makmur lebih berdimensi relatif; dibandingkan kemiskinan dalam masyarakat miskin dimana tidak jarang yang terjadi adalah kemiskinan absolut yaitu orang‐orang miskin hanya memperoleh pendapatan dibawah garis kemiskinan, yang tidak cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum diri dan keluarganya.
b. Standar hidup minimum merupakan kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan dasar individu yang meliputi:
o konsumsi pribadi: pangan, dinilai dengan kalori yaitu 2.100 kalori/orang/bulan
o sandang
o papan; serta
o pelayanan dasar kesehatan, katersediaan akses terhadap fasilitas kesehatan dasar (sehingga disarankan agar kelompok perempuan mengupayakan bahwa usulan kegiatan fisik fasilitas kesehatan harus memastikan ketersediaan sumber daya untuk beroperasinya pelayanan kesehatan hingga minimal 2 tahun ke depan, dan pada tahun berjalannya kegiatan masyarakat desa harus mengupayakan sumber daya rutin bagi keberlangsungan pelayanan kesehatan di tahun‐tahun berikutnya)
o pelayanan dasar pendidikan, ketersediaan akses pendidikan dasar 9 tahun (sehingga disarankan agar kelompok perempuan mengupayakan bahwa usulan kegiatan fisik fasilitas pendidikan harus memastikan ketersediaan sumber daya untuk beroperasinya pelayanan pendidikan hingga minimal 2 tahun ke depan, dan pada tahun berjalannya kegiatan masyarakat desa harus mengupayakan sumber daya rutin bagi keberlangsungan pelayanan pendidikan dasar di tahun‐tahun berikutnya)
o air minum, listrik dan
o sanitasi.
c. Standar hidup minimum umumnya dikaitkan dengan kelompok masyarakat miskin sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak dasar dan upaya agar tidak ada anggota masyarakat yang terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan karena awalnya miskin, tidak memiliki sumberdaya yang cukup tidak mampu memperoleh pendidikan yang memadai sehingga partisipasinya dalam pembangunan kurang memadai, produktivitasnya rendah, produksinya rendah, dan hanya memperoleh kompensasi yang rendah. Tidak jarang masyarakat miskin tingkat investasinya
rendah, tabungannya rendah sehingga tidak mampu memperoleh keuntungan dan pendapatan yang cukup terlebih bila mereka berlokasi di daerah miskin sumberdaya alam dan terisolir. Kemiskinan dapat pula membudaya karena telah berlangsung lama dan masyarakat tidak lagi merasakan kondisi miskin tersebut sebagai suatu kekurangan serta cenderung apatis, dan terjebak dalam label malas, bodoh, tidak disiplin, dll.
d. Kemiskinan, kerentanan dan ketidak‐berdayaan serta keterisolasian tidak jarang diikuti dengan kebijakan‐kebijakan yang tidak pro‐kesejahteraan seperti kebijakan distribusi aset produksi yang tidak merata atau kebijakan serta tindakan para pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan yang salah atau tidak arif, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme sehingga kemiskinan dalam masyarakat dipertahankan dan terus berlangsung karena berbagai faktor tersebut saling kait mengait antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi.
e. PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan dapat mengurangi bahkan memutus sebagian rantai kemiskinan dengan kebijakan dana bantuan langsung masyarakat (BLM) yang memberi masyarakat keleluasaan untuk mengalokasikan dan menggunakan dana BLM untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
f. Masyarakat, khususnya kelompok perempuan, yang diberi kesempatan berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait alokasi dan pemanfaatan sumber daya pembangunan yang mempengaruhi distribusi hasil‐hasil kegiatan pembangunannya, diharapkan dapat memanfaatkan kesempatan mengajukan dua usulan kegiatan yang seoptimal mungkin. Usulan kelompok perempuan diharapkan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti melalui kegiatan ekonomi, usulan SPP, yang ditunjang dengan usulan kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat dalam berproduksi, distribusi dan pemasaran. Usulan kelompok perempuan dapat pula ditujukan kegiatan‐kegiatan yang menunjang peningkatan kualitas hidup dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat desa, melalui pembudayaan nilai‐nilai yang dapat meningkatkan kemandirian masyarakat atau bentuk kegiatan peningkatan kapasitas yang menjadikan masyarakat terampil
dan mampu memberdayakan diri dan masyarakatnya serta mengelola permasalahan di lingkungannya secara mandiri.
g. Prioritas pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, karena melalui tahapan ini diharapkan dapat ditingkatkan kualitas kehidupan masyarakat, memutus lingkaran setan kemiskinan dan menjadi mekanisme penyeimbang terhadap kesenjangan pendapatan yang cenderung meningkat dan dapat menjadi pemicu keresahan di masyarakat. Salah satu contoh adalah kesempatan menikmati tingkat pendidikan dasar 9 tahun, diharapkan membangun budaya bersekolah, memotivasi para pemuda sebagai generasi penerus bangsa untuk melanjutkan pendidikan mereka ke tingkat yang lebih tinggi sekalipun harus menghadapi rintangan; serta membuka lebih banyak kesempatan pada para pemuda untuk mampu bersaing dalam mencari penerus bangsa mampu menjadi andalan bagi keberlanjutan pembangunan yang mensejahterakan di masa mendatang.
Dalam pelaksanaan kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan dibutuhkan partisipasi aktif dari seluruh masayarakat, laki‐laki dan perempuan, di desa hingga kecamatan di lokasi penerima program. Tanpa adanya keterlibatan masyarakat secara utuh, maka program ini tidak akan dapat berjalan sesuai tujuan menemukan berbagai terobosan dalam bentuk usulan kegiatan yang bermakna terhadap peningkatan kualitas hidup bahkan peningkatkan taraf hidup masyarakat desa.
Pengenalan dan pembudayaan nilai‐nilai terkait tujuan desa, pentingnya peningkatan kualitas sumber daya manusia desa secara fisik terkait tingkat kesehatan mereka, dalam hal wawasan dan keterampilan terkait tingkat pendidikan dan pelatihan, dalam mental spiritual terkait lingkungan seperti sanitasi, dan lain sebagainya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia desa memungkinkan masyarakat desa berperan dalam proses pembangunan dan berhak mengakses manfaat hasil‐hasil pembangunan secara langsung.
Secara khusus, keterlibatan kelompok perempuan dalam program diharapkan mampu melembagakan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan pembangunan, serta meningkatkan kualitas partisipasi perempuan dalam pembangunan desa.
A. PENJELASAN 3 PTO PNPM MANDIRI PERDESAAN
Program PNPM Mandiri Perdesaan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut harus didukung dalam pelaksanaan programnya. Untuk itu diharapkan masyarakat desa yang menerima program mau terlibat aktif dalam menjalankan program tersebut. Kesuksesan program ditentukan oleh kesediaan seluruh masyakarat untuk mendukung program dengan cara ikut terlibat secara aktif disetiap tahapan kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan. Tanpa dukungan masyarakat, tentu program tidak akan berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang diharapkan bersama dalam PNPM Mandiri Perdesaan. Dukungan masyarakat tersebut tidak terbatas pada kelompok – kelompok elite masyarakat saja, melainkan kelompok – kelompok masyarakat sasaran, yaitu masyarakat miskin dan kaum perempuan, yang selama ini selalu terpinggirkan.
Adapun bentuk – bentuk keterlibatan masyarakat, dapat berupa bantuan atau terlibat dalam menyumbangkan pemikirannya, membantu program dan terlibat dalam seluruh kegiatan, ikut mengusulkan kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan desa, ikut menentukan pembangunan yang akan dilaksanakan di wilayahnya, memantau kegiatan pembangunan yang dilakukan, dan sebagainya. Keikutsertaan masyarakat, khususnya masyarakat sasaran (miskin dan kaum perempuan) sangat diharapkan sekali, karena tujuan program adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Dengan keikutsertaan masyarakat miskin dan kaum perempuan dalam setiap tahapan kegiatan serta mampu memberikan keputusan dalam kegiatan pembangunan sangat diutamakan, mengingat sasaran program adalah mereka. Apabila mereka sendiri tidak mau terlibat, bagaimana dengan tujuan program yang ingin memajukan mereka, karena program tidak mengetahui kebutuhan mereka.
B. PARTISIPASI PEREMPUAN
Partisipasi merupakan cara kelompok tertinggal, seperti kelompok perempuan dan orang miskin, serta masyarakat umum untuk mendorong reformasi sosial yang memungkinkan mereka berbagi manfaat pembangunan atau mengarahkan distribusi manfaat yang dihasilkan dari produk yang suatu kondisi dimana kelompok masyarakat yang tertinggal hanya sebagai pendengar dan diberikan pengarahan, tanpa suatu kontribusi aktif dalam proses pembangunan.
Tahap sedikit partisipasi, adalah kondisi dimana kelompok tertinggal mulai menunjukkan perannya, tidak hanya diberi informasi (mendengar) tetapi juga menyuarakan (didengar) hingga memberi saran. Namun, pada tahap ini kelompok masyarakat yang tertinggal masih belum memiliki kekuatan untuk memastikan bahwa pandangan dan saran mereka akan dapat dilaksanakan dalam proses pembangunan. Pada tahap ini belum ada kepastian bahwa kelompok miskin dapat merubah nasibnya, karena keputusan tetap tergantung pada kelompok yang berkuasa.
Sedangkan tahap partisipasi adalah tahap dimana masyarakat, termasuk kelompok miskin, mampu mempengaruhi pengambilan keputusan. Tahap ini merupakan tahap yang memungkinkan kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan, yaitu perempuan desa dan rumah tangga miskin, berperan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.
Pada pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM‐MD), yang merupakan bentuk sederhana proses pengambilan keputusan terkait pembangunan dan pengelolaan sumber daya pembangunan, masyarakat umum serta kelompok masyarakat tertinggal diberi keleluasaan untuk meningkatkan perannya dalam perencanaan kegiatan di wilayahnya dan pengambilan keputusan alokasi sumber daya program untuk membiayai kegiatan‐kegiatan pembangunan yang telah disepakati.
Di dalam pelaksanaan program, perempuan dan rumah tangga diberi keleluasan lebih untuk berpartisipasi dalam seluruh tahapan program. Mereka bahkan berkesempatan, dan tidak jarang juga berwenang, mengelola kegiatan‐kegiatan pembangunan sehingga partisipasi menjadi ajang belajar dan berlatih untuk meningkatkan kapasitas mereka agar mampu menolong diri sendiri. Dalam prosesnya mereka menentukan bagaimana informasi pembangunan disosialisasikan, bagaimana tujuan pembangunan diformulasikan dalam bentuk kebijakan dan kemudian didetilkan dalam program, yang sesuai dengan harapan mereka; serta memastikan realisasinya dalam bentuk kegiatan, yang pelaksanaannya meliputi keputusan tentang prioritas pembangunan dan alokasi sumber daya pembangunan.
PNPM Mandiri Perdesaan berkontribusi mencetak dan mencari kader, serta mengembangkan kualitas kader untuk memfasilitasi masyarakat desa, laki‐laki dan perempuan, agar dapat meningkatkan kapasitas mereka khususnya terkait pembangunan desa.
Peningkatan kapasitas perempuan desa merupakan salah satu sasaran penting program, karena merupakan bagian dari upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia desa yang akan mengurangi potensi terjadinya sekelompok masyarakat menjadi beban pembangunan, serta meningkatkan kontribusi dan kualitas anggota masyarakat, laki‐laki dan perempuan, dalam pembangunan desa.
Sebagai kelompok masyarakat yang seringkali dikategorikan sebagai rentan, tertinggal dalam proses Partisipasi dalam tahap perencanaan dan pengambilan keputusan merupakan bagian dari proses peningkatan kapasitas perempuan desa. Selain itu, upaya peningkatan kapasitas perlu dilakukan dengan memfasilitasi perempuan desa agar memahami permasalahan yang terjadi dan berpotensi terjadi sehingga mengalokasikan sumber daya pembangunan untuk upaya mengurangi potensi terjadinya atau besaran terjadinya permasalahan tersebut, atau besarnya dampak atas permasalahan tersebut menjadi penting dan mendesak.
Selain itu, perempuan desa dapat pula difasilitasi untuk berperan dalam tahap perencanaan dan pengambilan keputusan untuk mengarahkan alokasi sumber daya pembangunan bagi upaya pencapaian impian dan harapan masyarakat desa.
A. Kader dan Kaderisasi
PNPM Mandiri Perdesaan berkontribusi membentuk dan mencari kader, serta mengembangkan kualitas kader untuk memfasilitasi masyarakat desa, laki‐laki dan perempuan, agar dapat meningkatkan kapasitas mereka khususnya terkait pembangunan desa. Percepatan pembangunan desa membutuhkan lebih banyak dukungan warganya dengan sifat dan tingkah laku kader sebagai pelopor pembangunan yang mampu mencerahkan dan membangun kesadaran kritis masyarakat agar mengarah pada upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana bunyi pembukaan UUD
1945 pada alinea keempat.
Sebagian kader desa yang dinilai potensial, yaitu para pelaku program, menjadi tumpuan harapan untuk memikul tanggung jawab mewujudkan harapan masyarakat desa, seperti peningkatan kualitas kehidupan masyarakat desa dan kemakmuran desa. Keteladanan para kader desa dan kemampuan membentuk lebih banyak kader pembangunan desa, serta kerja nyata dalam proses pembangunan di desa seperti memfasilitasi masyarakat, laki‐laki dan perempuan, agar terlibat aktif dalam berbagai tahapan program akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan membuka akses mereka terhadap manfaat dan dapat mempengaruhi distribusi hasil‐hasil pembangunan.
Secara khusus PNPM‐MD menargetkan pembangunan partisipatif yang pada gilirannya dapat melahirkan kebijakan pembangunan yang pro rakyat miskin. Dalam rangka itu pula perencanaan partisipatif diintegrasikan ke dalam sistem pembangunan reguler. Integrasi tentunya tidaklah dapat diartikan hanya sebagai penyamaan jadwal, kebersamaan dalam forum Musrenbang. Integrasi hendaknya dipahami sebagai meletakkan dan memfungsikan perencanaan berbasis rakyat desa ke dalam ranah perencanaan publik. Tidak saja dituntut kompetensi untuk mencapai tujuan ini. Pemusatan sasaran dan perluasan dukungan lingkungan strategis diperlukan; yang di dalamnya akan mencakup penyamaan tujuan, persepsi, pemikiran dan tindakan di tengah kelompok‐kelompok sosial yang berbeda. Pengorganisiran kelompok‐kelompok sosial menuju terbangunnya norma‐ norma yang selaras dengan nilai, tujuan dan norma‐norma yang membuka lahirnya Tata aturan
sebagai kader pemberdayaan masyarakat akan berada pada posisi dan situasi ini; yang dalam saat yang sama berperan sebagai pemberdaya masyarakat desa.
Adalah layak kiranya untuk mempersepsi desa adalah sebuah “Negara” kecil. Dengan pemahaman ini maka dalam rangka menegakkan kemandirian desa dan otonomi desa maka segenap kelompok sosial di desa atau pihak‐pihak yang berpengaruh dalam perubahan sosial dalam masyarakat desa perlu dipandang sebagai sebuah potensi. Perbedaan‐perbedaan kepentingan dan pemahaman dalam masyarakat desa dengan demikian harus dapat dikelola dan dikondisikan hingga dapat dikelola oleh masyarakat sendiri. Rakyat desa sesuai konstitusi harus dipandang dan diperlakukan sebagai subyek yang memiliki otoritas yang bertanggung jawab dan berdaulat secara nyata sehingga keputusan‐keputusan pembangunan, pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan berbasis rakyat dapat diwujudkan. Norma‐norma yang adil yang menyangkut hak‐hak rakyat desa secara menyeluruh patut dibangun. Hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas kehidupan yang layak, hak atas perlakuan yang adil termasuk relasinya dengan desa‐desa lain dalam “Negara” ini perlu dibangun. Upaya pembangunan yang di antaranya menyangkut pembangunan kecerdasan umum, kesamaan derajat tanpa membedakan status sosial atau jenis kelamin, pembangunan martabat dan harga diri yang akan dapat berhadapan dengan berbagai kepentingan, pandangan dan kebiasaan atau bahkan tradisi yang telah mengakar.
Kader desa diharapkan mampu mengurangi konflik antara kebiasaan atau tradisi yang telah mengakar dengan nilai‐nilai yang dianggap dapat mempercepat proses pembangunan, antara lain dengan menjadikan kelompok perempuan desa sebagai agen pembangunan penting terkait pengenalan dan pembudayaan nilai‐nilai dalam keluarga, seperti nilai‐nilai tentang standar hidup minimum –meliputi pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, utilitas dan sanitasi lingkungan— yang patut dipenuhi sebagai bentuk peningkatan kualitas hidup masyarakat.
B. Peta Desa dan Peta Pelengkap
Upaya meningkatkan kualitas partisipasi perempuan dalam pembangunan dilakukan dengan meningkatkan wawasan perempuan tentang standar hidup minimum; keterampilan perempuan untuk memahami kondisi masyarakatnya, permasalahan, potensi desa dan harapan akan bentuk desa di masa datang melalui peta desa dan peta pendukungnya, serta mengkomunikasikan aspirasi mereka dalam berbagai pertemuan untuk memperoleh pembiayaan melalui program.
Peta desa merupakan peta dasar yang memberi gambaran tentang sketsa desa, kondisi desa berdasarkan penggunaan lahan secara kasar, meliputi: batas desa, jalan, sungai, sumber air lain, lahan hutan – pertanian – perkebunan – industri, keberadaan prasana fisik seperti irigasi – pasar – pembangkit listrik dll. Peta ini tidak harus akurat tetapi memudahkan bagi pembacanya untuk mengetahui kondisi desa dengan cepat. Peta desa dapat dibuat kapan saja sepanjang mengacu pada simbol yang lazim digunakan dan dipahami oleh masyarakat. Peta desa dapat menjadi alat untuk
Sebagai peta dasar, maka pada peta desa sebaiknya tidak ditampilkan informasi‐informasi yang rumit dan detil. Informasi detil tentang permasalahan desa sebaiknya digambarkan pada peta pelengkap. Peta pelengkap dibuat disesuaikan dengan kebutuhan. Misal, bila kelompok perempuan ingin mengajukan suatu usulan kegiatan dalam PNPM Mandiri Perdesaan, maka kelompok perempuan disarankan untuk membuat peta pelengkap yang berisi data dan informasi pendukung untuk peta dasar.
Peta dasar dan peta pelengkap dapat menjadi alat untuk meyakinkan para pihak yang hadir dalam pertemuan tahap perencanaan hingga tahap prioritas dan pengambilan keputusan agar memberikan dukungan terhadap usulan kelompok perempuan. Bagi kaum perempuan sendiri, peta pelengkap juga berguna untuk meningkatan pengetahuan dan kepekaan kaum perempuan terhadap permasalahan desa. Kelompok perempuan dapat pula menggambarkan perkembangan desa, dan permasalahannya, dari waktu ke waktu dengan membuat peta sendiri mengacu pada peta yang ada. Pengetahuan ini akan membantu kaum perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan di desa.
Gambaran yang lebih detil, nyata dan terkini tentang masalah desa digambarkan pada peta pelengkap dikaitkan dengan usulan yang diajukan. Bila usul yang diajukan adalah usulan terkait pendidikan maka dibuat peta pelengkap tentang pendidikan; bila tentang kesehatan dibuat peta pelengkap tentang kesehatan; bila tentang upaya peningkatan ekonomi melalui peningkatan kapasitas maka dibuat peta sosial ekonomi masyarakat dan potensi sumber daya yang ada atau potensi pasar yang terbuka, dlsb. Data dan informasi yang ditampilkan pada peta pelengkap sebaiknya tidak terlalu luas agar tidak sulit membuatnya serta tidak membuat bingung para pihak yang akan jadi target sebagai pembaca peta. Namun, peta pelengkap harus memperjelas dan menegaskan tentang pentingnya gagasan yang diusulkan.
Secara teknis seluruh peserta penggalian gagasan dapat dilibatkan dalam pembuatan peta. Media untuk membuat peta dapat menggunakan materi yang ada dan dianggap cocok untuk menggambar peta di lingkungan tempat dilaksanakannya pertemuan, seperti menggunakan permukaan tanah dengan ranting, lantai dengan kapur atau arang, dll. Namun, bila peta akan disimpan untuk nantinya digunakan lebih lanjut bagi kepentingan lain, maka peta dasar desa dapat dibuat atau disalin di atas kerta tebal, dengan meminta pada seseorang yang dinilai terampil dan hadir pada pertemuan. Peta dapat pula dibuat menggunakan komputer untuk memudahkan penyimpanan data. Ada baiknya peta dasar dibuat beberapa copy, agar ada anggota masyarakat yang memilikinya seperti ketua kelompok atau tokoh masyarakat, untuk memudahkan bila akan membuat peta pelengkap bagi berbagai kepentingan lain.
Dalam peta dasar desa ditentukan simbol‐simbol yang akan dipergunakan untuk berbagai objek. Setelah itu, dengan arahan dari para peserta, digambarkan peta yang meliputi:
Batas desa
Alokasi lahan berdasarkan pemanfaatannya seperti lahan hutan, lahan pertanian, lahan
Objek‐objek penting di desa seperti jalan, sungai, sumber air lain, dll.
Keberadaan prasana fisik seperti irigasi, pasar, pembangkit listrik, terminal, sekolah, balai desa, sarana ibadah, dll.
Di bawah peta diberikan keterangan tentang simbol‐simbol yang digunakan pada peta.
Setelah itu baru dibuat peta pelengkap (pada plastik/kertas transparan), yang nantinya dapat pula disalin menggunakan komputer. Bila peta dasar sudah pernah dibuat, maka peta pelengkap yang berisi data dan infornasi penunjang usulan kegiatan hasil penggalian gagasan disarankan mengacu pada peta dasar desa yang ada.
Bila usulan kelompok perempuan terkait pendidikan, maka peta pelengkap dapat berisi informasi tentang keberadaan fasilitas pendidikan di desa, kondisi anak‐anak usia wajib belajar, jumlah anak‐ anak dan remaja desa. Data deskripsi dapat disertakan misalnya tentang kegiatan anak‐anak dan remaja sepulang sekolah, harapan keluarga dan masyarakat atas anak‐anak dan remaja desa, dll. Membandingkan kondisi yang ada dengan harapan dapat menjadi alasan untuk meyakinkan para peserta pertemuan dan para pengambil keputusan, agar usulan kelompok perempuan memperoleh dukungan dan pelaksanaannya dapat dialokasikan dari dana BLM PNPM Mandiri Perdesaan. Lebih lanjut usulan kelompok perempuan dapat diperkuat dengan informasi tentang manfaat dari fasilitas fisik yang akan diusulkan dan kegiatan non‐fisik yang akan menyertainya sebagai bagian dari proses pembudayaan nilai‐nilai terkait pendidikan yang diharapkan seperti menanamkan kecintaan belajar pada anak, dll.
C. Komunikasi sarana Mewujudkan Aspirasi
Keterampilan berkomunikasi akan membantu seseorang mengungkapkan aspirasinya, memperjuangkan agar aspirasi tersebut memperoleh dukungan dari berbagai pihak atau pihak‐ pihak tertentu yang dinilai dapat memberi pembelaan sehingga aspirasi tersebut disepakati dan dilaksanakan. Komunikasi adalah suatu upaya disengaja, dimana seseorang menyampaikan informasi, gagasan atau fikirannya menggunakan kata‐kata, gambar, dan simbol ‐simbol lain untuk mempengaruhi, mengubah atau membentuk perilaku orang lain. Melalui komunikasi seseorang mengungkapkan secara secara jelas apa yang ingin sampaikan pada orang lain.
Kelemahan berkomunikasi, khususnya di depan publik, dapat membuat seseorang lebih memilih diam sekalipun ia memiliki gagasan di kepalanya. Tidak sedikit perempuan yang mengalami kondisi ini terutama pada pertemuan‐pertemuan tingkat desa yang dihadiri oleh laki‐laki dan perempuan; dan tidak jarang dihadiri oleh lebih banyak laki‐laki.
Ketidak‐siapan berbicara dalam pertemuan yang melibatkan banyak orang dan tidak semuanya dikenal baik, keraguan akan penerimaan peserta lain terhadap gagasan yang ada di kepalanya, misalnya takut ditertawakan karena gagasannya dinilai aneh atau luar biasa, menyebabkan yang
yang biasa kita hadapi, yang membuat seseorang tidak merasa takut salah ucap, menyebabkan seseorang lebih memilih diam. Padahal dengan diam yang bersangkutan kehilangan kesempatan untuk merealisasikan mimpinya, harapannya atau ide‐idenya melalui program.
Untuk membangun keberanian berbicara di depan publik perlu dilakukan beberapa persiapan yang meliputi:
1. Persiapan mental, untuk mengurangi rasa gugup atau tidak nyaman lakukan hal‐hal berikut:
a. Rileksasi, dengan menarik nafas panjang dan dalam, lalu atur pernafasan
b. Gerakan badan, tidak harus teratur, untuk melemaskan otot‐otot dan agar darah
mengalir lancar, kemudian tegakkan badan dengan bahu dan dada yang tegap, serta tersenyum
c. Tingkatkan volume suara pada saat mulai berbicara untuk memberi semangat pada diri sendiri.
2. Persiapan materi, untuk meyakinkan diri bahwa apa yang nanti disampaikan sudah
dipersiapkan dengan baik dan diharapkan dapat diterima oleh yang mendengar:
a. Cari data/informasi yang diperlukan, bila perlu agak detil misalnya untuk kegiatan sosial membantu anak dari keluarga RTM agar tidak putus sekolah, maka disiapkan nama anak yang akan dibantu, kelas berapa, apa yang dibutuhkan untuk dibantu, nama orang tua, pekerjaan, alamat, kondisi keluarga, dll.
b. Siapkan substansi materi pembicaraan, yang dapat terdiri dari:
o Pembukaan: berupa pemecah kebekuan, gunakan humor yang tidak bersifat individual agar tidak ada yang tersinggung atau masukan kisah kejadian sehari‐hari, pengalaman orang lain, hasil riset, dlsb; setelah itu pembicara dapat langsung masuk ke pokok persoalan (mulai dari gagasan utama ke rincian atau mulai dengan kasus ke kesimpulan).
o Isi: merupakan inti pembicaraan, untuk menjaga suasana dapat dilakukan penekanan pada kata‐kata tertentu yang dianggap penting.
o Penutupan: berupa kesimpulan, mengingatkan kembali gagasan utama, ucapkan salam bila waktu telah habis.
3. Pengenalan lingkungan, untuk menambah keyakinan diri dan menamberi rasa nyaman:
a. Kenali peserta yang akan hadir, seperti: usia, pekerjaan, motif kehadiran dan kemungkinan reaksi mereka, untuk membantu kita memilih ‐ menyusun ‐ menyajikan gagasan dengan strategi penyampaian yang tepat, termasuk alat bantu yang tepat untuk menunjang gagasan yang disampaikan seperti peta desa dan peta pelengkap.
b. Bila lokasi pertemuan bukan di tempat yang biasa dan belum dikenal baik, usahakan untuk datang lebih awal sebelum acara dimulai, sehingga kita dapat mempersiapkan diri, menyiapkan strategi saat berbicara misalnya bergerak ke depan atau ke samping, memilih tetap di tempat sambil menggunakan alat bantu, dll.
4. Penampilan fisik:
Pastikan kondisi badan dalam keadaan sehat, dan suara normal; kenakan pakaian rapi sesuaikan dengan suasana acara; saat berbicara lakukan kontak mata dan perlihatkan wajah yang meyakinkan; usahakan volume suara lebih keras dari berbicara sehari‐hari untuk mulai berbicara atau dari materi pembicara sebelum kita. Materi pembicara sebelumnya dapat digunakan sebagai pengantar pembicaraan, membantu memfokuskan pada sebagian materi tertentu karena bagian yang lain sudah disampaikan, membahas lebih detil materi yang disampaikan, atau memperluas cakupan materi yang akan disampaikan.
Keterampilan mendengar merupakan sarana menyerap ilmu karena pada dasarnya pengetahuan lebih banyak diperoleh melalui telinga, selain mata. Mendengar adalah upaya memahami apa yang dikatakan orang lain. Mendengar tidak hanya memperhatikan kata‐kata yang diucapkan si pembicara atau memilih yang ingin didengar, bagian‐bagian tertentu dari pembicaraan, sehingga pemahaman yang diperoleh dari mendengar tidak lengkap.
Mendengar membutuhkan konsentrasi dan kesabaran, jangan mengantuk atau sibuk dengan pikiran sendiri, jangan mendahului pikiran pembicara. Mendengar adalah mendengar empatik, mendengar gagasan yang diungkap pembicara, mendengar apa yang tersirat bukan hanya fakta atau contoh
yang diberikan, bukan cara penyampaiannya tetapi isinya. Buat catatan bila dianggap perlu, dapat pula bertanya pada diri sendiri akan maksud si pembicara atau uji yang dimengerti dengan bertanya pada pembicara. Terkait dengan pelaksanaan program, mendengar adalah upaya untuk mengerti tentang kondisi desa, permasalahan dan harapan masyarakat, untuk menjawab persoalan atau mencapai tujuan.
PNPM Mandiri Perdesaan mengajak masyarakat, khususnya perempuan desa, untuk meningkatkan kemandiriannya dalam memanfaatkan dan mengoptimalkan sumber daya sosial dan ekonomi yang ada bagi peningkatan taraf hidup, pengembangan kemampuannya agar lebih berkontribusi dalam mensejahterakan keluarganya dan berperan dalam perekononian dan pembangunan desa. Program juga menawarkan ide pada kelompok perempuan untuk meningkatkan kualitas organisasinya dengan meningkatkan kapasitas anggotanya, khususnya di bidang ekonomi, serta memperkuat jejaring kelompok perempuan agar wilayah desa dan kecamatan dapat memperoleh nilai tambah yang lebih baik dari berbagai kegiatan ekonomi produktif masyarakatnya.
Secara khusus para pelaku program diharapkan mampu bersinergi dengan para pihak terkait di tingkat lokal untuk memfasilitasi dan membangun ruang yang memadai bagi berkembangnya kerjasama ekonomi dalam kelompok dan antar kelompok di desa.
A. Pengorganisasian Masyarakat
Pengorganisasian masyarakat adalah bentuk fasilitasi yang dapat dikontribusikan oleh para pelaku
masyarakat memenuhi kebutuhan dasar mereka, hak‐hak yang bila diingkari akan mempertahankan kemiskinan yang ada.
Pemenuhan hak dimaksud harus diwujudkan dalam kebijakan pembangunan yang menjadi dasar dan acuan pemerintah menyelenggarakan pembangunan. Keberpihakan dimaksud adalah pembelaan negara/ pemerintah secara sadar, sebagai institusi yang memiliki wewenang dalam mendayagunakan sumber‐sumber daya yang ada, untuk memampukan masyarakat, khususnya orang miskin, agar membangun kekuatan untuk mendapatkan kembali hak‐hak mereka, sehingga mereka dapat hidup layak.
Pengorganisasian masyarakat adalah upaya sistematis membangun kesadaran politik masyarakat, yang berangkat dari persoalan hak dan persoalan kebijakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Upaya ini merupakan proses transformasi untuk meningkatkan posisi tawar dan daya tekan politik rakyat, karena pemenuhan hak rakyat untuk hidup layak terkait dengan kebijakan pembangunan sebagai sarana mewujudkannya.
Dalam era otonomi daerah dewasa ini, upaya pengorganisasian masyarakat terkait erat dengan pemerintahan pada aras lokal karena persoalan terkait masyarakat atau rakyat menjadi urusan dan tanggung jawab pemerintah lokal. Kebijakan pembangunan di tingkat lokal menjadi jawaban atas persoalan pemenuhan hak rakyat untuk hidup secara layak, untuk meningkatkan kesejahteraan, sebagaimana mandat yang diberikan rakyat melalui pemilihan langsung.
Secara khusus di tingkat kelompok, pengorganisasian masyarakat yang diharapkan adalah bentuk upaya pelaku program untuk memfasilitasi masyarakat, dalam hal ini kelompok perempuan, untuk meningkatkan keterampilan berproduksi dan kapasitas anggota kelompok, meningkatkan kualitas kelompok, serta memperkuat dan mengembangkan jejaring kelompok perempuan untuk mengakses sumber daya bagi pencapaian tujuan yang disepakati, termasuk kapasitas mengakses dan memanfaatkan data dan informasi di sekitar mereka.
B. Kerjasama
Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendirian. Manusia membutuhkan manusia lain, bahkan mahluk hidup lainnya. Kerjasama merupakan kebutuha manusia untuk meningkatkan manfaat dari dilakukannya berbagai kegiatan, khususnya kegiatan ekonomi produktif, yang diharapkan dapat meningkatkan kemakmuran rumah tangga dan masyarakat desa, dengan menciptakan kesempatan kerja produktif dan meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat desa sebagai produsen.
Dalam sejarahnya, masyarakat tradisional bergabung dan membentuk suatu komunitas untuk menjaga diri, sawah dan kebunnya dari serangan binatang buas kelompok manusia lainnya; untuk menghadapi kondisi alam yang terkadang tidak bersahabat; untuk mengambil hasil hutan atau melakukan perburuan di hutan yang berbahaya.
Dalam masyarakat modern sebagian kebutuhan manusia dapat diperoleh melalui mekanisme pasar. Manusia tidak lagi harus memenuhi segala kebutuhan hidup diri dan keluarganya secara mandiri atau berkelompok. Dengan berproduksi untuk pasar, menjual tenaganya atau membuat barang yang dapat dijual di pasar, seseorang akan memperoleh pendapatan yang dapat digunakan untuk memperoleh barang dan jasa yang dibutuhkan.
Dalam masyarakat tradisional tugas mendidik anak‐anak dilaksanakan dalam keluarga atau kelompok. Anak perempuan dilatih oleh ibu untuk keterampilan mengelola rumah tangga seperti memasak, mengolah hasil bertani/melaut/berburu, mangasuh bayi dan anak, menenun, menjahit, dan lain‐lain; sedangkan anak laki‐laki dilatih oleh bapak dalam bertani, berdagang atau oleh kelompok laki‐laki dalam melaut dan berburu, dll. Dalam masyarakat modern tugas mendidik anak dapat dialihkan, karena jasa pendidikan anak dapat diperoleh dengan mempekerjakan guru pribadi atau mengirim anak‐anak ke sekolah umum, pesantren, dll. Model pengajaran rumah tangga atau tradisional menjadi lebih terbatas antara lain tentang nilai‐nilai, sedangkan untuk pengetahuan dan keterampilan sudah tidak lagi memadai bila disediakan secara mandiri oleh rumah tangga atau komunitas.
Di luar rumah, sekolah‐sekolah mampu menawarkan jasa pendidikan dengan pengajar dan pelatih tenaga ahli atau tenaga terampil, dengan fasilitas pendukung yang tidak dapat disediakan oleh rumah tangga seperti lapangan olah raga dan perlengkapannya; bengkel dan kelengkapan untuk keterampilan teknis; bengkel seni dan perlekapannya seperti kostum, alat musik, sound‐system; bengkel film dan theater; laboratorium fisika, kimia, biologi/kedokteran; laboratorium bahasa; dan lain‐lain. Berbagai fasilitas pendukung dan kelengkapannya sangat membantu dalam meningkatkan kapasitas anak, namun biaya memperoleh dan merawatnya tidak sedikit sehingga menjadi terlalu mahal bila harus disediakan oleh rumah tangga secara mandiri atau berkelompok. Semakin banyak siswa/mahasiswa yang menggunakan fasilitas pendukung ini semakian rendah biaya yang dibebankan pada masing‐masing siswa/mahasiswa, dan semakin kecil jumlah pengguna fasilitas pendukung ini semakin besar biaya yang dibebankan pada setiap siswa/mahasiswa.
Dibutuhkan sejumlah biaya untuk menyekolahkan anak‐anak, seperti untuk seragam, buku, transportasi, jajan anak, bahkan biaya sekolah –kecuali di sekolah negeri tingkat SD dan SLTP karena pemerintah memberikan pembebasan biaya sekolah bagi warganya. Untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarga dibutuhkan sejumlah pendapatan sehingga kebutuhan tersebut dapat diperoleh setiap keluarga melalui pasar. Artinya tingkat kesejahteraan suatu keluarga akan sangat tergantung pada kapasitas keluarga tersebut berpartisipasi dalam produksi barang dan jasa untuk pasar.
Di dalam mekanisme pasar berlaku hukum penawaran dan permintaan yang menentukan harga. Barang yang disukai oleh masyarakat akan diminta dalam jumlah lebih besar. Semakin banyak produksi kita diminati di pasar atau memenuhi selera pasar, semakin besar kemungkinan kita memperoleh keuntungan dari usaha kita, baik karena kita dapat memperbesar skala produksi,
besar; atau bila kita tidak dapat memperbesar produksi untuk memenuhi permintaan di pasar besar dengan jumlah barang yang sedikit, maka harga akan cenderung meningkat.
Para pengusaha yang memiliki cukup modal dapat meningkatkan kemampuan produksi dengan membeli mesin, meningkatkan stok bahan baku, menambah pekerja untuk mempercepat proses dan memperbanyak hasil produksi. Namun masyarakat umum yang ingin meningkatkan produksi dan tidak mempunyai cukup modal uang, harus menggunakan modal yang lain seperti modal sosial yaitu dengan bekerjasama membangun kesepakatan, membentuk dan mengelola kelompok agar antar mereka dapat saling memperoleh dan meningkatkan manfaat.
Ada banyak kesempatan kerjasama kelompok yang memberi manfaat bagi anggotanya. Misalnya, bila anggota kelompok bersepakat membeli bahan baku produk dalam jumlah besar, terutama bila produk tersebut harus didatangkan dari luar desa. Bila masing‐masing anggota mencari sendiri bahan baku yang dibutuhkan, maka masing‐masing anggota kelompok harus mengeluarkan biaya transportasi dan waktu, tidak jarang biaya akomodasi bila lokasi bahan baku jauh dari desa mereka. Bila mereka berkelompok membeli bahan baku tersebut rnaka biaya transportasi dan akomodasi hanya untuk satu atau dua orang saja sehingga biaya yang dikeluarkan bisa dibagi bersama sebagaimana kesepakatan. Selain itu, pembelian barang dalam jumlah besar memungkinkan pembeli melakukan penawaran, meminta potongan harga atau bentuk dispensasi lain seperti menerima barang di tempat atau bonus, dll.
Dalam menjual hasil produk kelompok dapat dibangun kesepakatan untuk berbagi pasar, agar antar anggota tidak saling bersaing. Persaingan dapat menyebabkan perang harga dan akan menurunkan harga jual barang. Kelompok dapat pula menjadikan produk anggota sebagai produk kelompok sehingga yang diatur adalah distribusi produk, termasuk bila produk akan dijual ke pasar yang baru atau di luar wilayah. Satu atau dua anggota kelompok dapat diberi amanah untuk menjadi utusan kelompok dengan tugas menjajaki pasar yang baru hingga memastikan kesempatan memasarkan barang kelompok, atau menjadi agen pemasaran produk hasil kelompok. Kelompok dapat memberi merk pada produk kelompok untuk memudahkan pelanggan mengenali barang yang akan mereka cari kembali bila memuaskan. Kerjasama kelompok memungkinkan barang diproduksi dalam jumlah besar sehingga lebih memberi kepastian tentang kelestarian pasokan produk sehingga memudahkan pelanggan bila mereka membutuhkannya. Secara internal anggota kelompok dapat membuat kesepakatan tentang aturan main kelompok, tentang besarnya kontribusi anggota dan kompensasi atas kontribusi anggota, simpanan untuk kas kelompok, biaya‐biaya terkait produksi dan pemasaran barang, dll. Diharapkan agar kerjasama dapat meningkatkan keterampilan perempuan desa dalam berproduksi, dan menjaga kelangsungan serta mengembangkan usaha ekonominya.
Dalam berkelompok, peran pemimpin sangat berarti untuk membangun visi kelompok, mengarahkan tujuan kelompok, mengelola manajemen internal kelompok sehingga komunikasi antar anggota atau sub‐sub kelompok, misalnya berdasarkan spesialisasi, dapat ditingkatkan dan
dikendalikan dan energi kelompok diarahkan untuk mengatasi permasalahan eksternal yang di luar kontrol kelompok. Visi kelompok, diterjemahkan dalam tujuan yang akan dicapai kelompok, memberi arah pada anggota kelompok dalam bertindak terlebih ketika menghadapi permasalahan ekternal kelompok yang tidak jarang membutuhkan keputusan dan tindakan yang tidak sempat dikomunikasikan dengan ketua atau anggota kelompok lainnya. Dalam kelompok yang solid, misalnya tim sepak bola, tujuan memberi arah bagi masing‐masing anggota tim untuk mengatur strategi, agar saling memperkuat dan menutupi kelemahan internal kelompok dan mencapai tujuan kelompok yaitu memenangkan pertandingan. Para pelaku program diharapkan dapat membantu para ketua kelompok untuk meningkatkan kapasitasnya mengelola anggota, kelompok dan mengembangkan jejaring kelompok perempuan. Pada gilirannya diharapkan ketua kelompok dan anggota kelompok perempuan mampu berkontribusi secara bermakna dalam mengembangkan kegiatan ekonomi produktif di desa, serta terlibat aktif dalam setiap tahapan kegiatan di PNPM Mandiri Perdesaan.
Manfaat kerjasama antara lain, adalah:
1. Membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin, misalnya bila seorang ibu rumah tangga ingin membangun usaha ‘membuat dan menjual makanan kecil’ namun ia tidak punya waktu untuk berproduksi setiap hari; maka kelompok memungkinkan banyak ibu rumah tangga dengan waktu yang terbatas untuk bekerjasama sesuai waktu yang mereka miliki dalam produksi makan kecil secara rutin dan menjualnya di beberapa warung, sekolah atau didistribusikan di lokasi‐lokasi tertentu.
2. Membuat beban berat menjadi ringan, misalnya seorang ibu pengusaha harus membeli bahan baku produknya di pasar di luar desa setiap minggu dimana ia harus mengeluarkan biaya transpor, waktu dan kehilangan kesempatan menikmati istirahat bila berkelompok tugas membeli bahan baku produk di pasar di luar desa dapat dilakukan secara bergilir oleh satu atau dua orang anggota atau seseorang diberi amanah untuk melaksanakan tugas itu sehingga biaya transportasi dapat dibagi sesuai kesepakatan dan sebagian ibu‐ibu dapat menikmati waktu luangnya.
3. Membuat kerja lebih efisien, misalnya kelompok membuat pembagian fungsi‐tugas anggota‐anggota kelompok berdasarkan minat dan kapasitasnya, dimana sebagian ibu‐ibu bertugas utama dalam pemilihan dan pembelian bahan baku; sebagian ibu‐ ibu bertugas dalam proses produksi untuk terus meningkatkan kualitas produk dalam bentuk, warna, atau rasa untuk produk makanan; sebagian ibu‐ibu berperan dalam pengemasan dan merk; sebagian lain berperan dalam manajemen internal kelompok seperti mengelola waktu produksi, anggota yang bertugas, jumlah yang diproduksi, distribusinya; dll. Spesialisasi memungkinkan para ibu memiliki tanggung jawab kerja yang jelas, dapat bekerja lebih fokus, terlatih dan efisien karena diutamakan menekuni bidang yang telah disepakati sehingga hasil kerjanya diharapkan lebih baik yang berarti kinerja kelompok meningkat.
4. Membuat seluruh anggota berperan, membagi fungsi tugas anggota kelompok berdasarkan minat dan kapasitasnya diperkirakan akan meningkatkan kinerja masing‐masing anggota yang juga berarti meningkatkan kinerja kelompok. Seorang ibu yang tekun dan hati‐hati dapat diberi tugas dalam bidang pangelolaan bahan baku dan kontrol kualitas serta menjadi bendahara kelompok, ibu yang aktif dan pandai berbicara dapat menjadi sekretaris dan diberi tugas bidang pemasaran dan pembelian bahan baku terlebih bila yang bersangkutan dapat membaca selera pasar untuk mengarahkan produksi agar disukai oleh masyarakat, ibu yang mampu mempengaruhi anggota lainnya dapat menjadi ketua dan mengelola manajemen internal, ibu yang memiliki telenta seperti memasak atau menjahit dapat menjadi penanggung jawab produksi, dll.
5. Meningkatkan rasa saling percaya antar angggota, bila sebagian besar atau seluruh anggota kelompok telah dapat melaksanakan fungsi tugasnya dengan baik, sebagaimana pembagian kerja kelompok, maka roda organisasi akan berjalan baik, dan masing‐masing anggota kelompok akan mengandalkan temannya bila menghadapi permasalahan yang bukan menjadi bidang tugasnya. Sekalipun dalam pengambilan keputusan tiap anggota berhak memberi masukan, namun yang melaksanakan adalah yang memahami dan yang menangani bidang bersangkutan.
6. Mencapai tujuan yang besar, misalnya kelompok ingin mengembangkan usaha ke luar desa. Bila tujuan ini dilakukan sendiri‐sendiri maka tiap ibu harus berani datang ke desa tetangga, mengorbanankan waktu daya dan tenaga untuk mengidentifikasi lokasi toko yang akan dijadikan mitra usaha, melakukan perkenalan hingga menawarkan produknya dan melakukan negosiasi agar produk dapat dipasarkan melalui toko yang dipilih dengan kesepakatan yang menguntungkan, dan umumnya tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan. Dengan berkelompok maka dapat dipilih satu atau dua orang anggota untuk diamanatkan sebagai agen pemasaran sehingga anggota yang terplih dapat lebih terkonsentrasi pada fungsi tugas pemasaran, serta menjadi terlatih karenanya; sedangkan ibu‐ibu yang lain dapat berkonsentrasi pada tugas masing‐masing sesuai kesepakatan kelompok.
DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI
KETIMPANGAN GENDER
KETIMPANGAN GENDER
ERNA SOFYAN SYUKRIE, SH.
A. BUDAYA DAN IDEOLOGI PATRIARKI
Sebagaimana kita ketahui bersama di dunia Barat ataupun di Timur,
perkembangan peradaban manusja tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi
patriarki. Dinegara-negara Barat, Amerika Serikat, dan Eropa Barat, budaya tersebut
terlebih dahulu terkikis sejalan dengan perkembangan tehnologi, demokrasi dan lain-lain
yang mendudukan persamaan dan keadilan sebagai nilai yang sentral. Di negara-negara
Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, budaya dan ideologi tersebut masih sangat kental dan
mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta menciptakan
ketimpangan-ketimpangan gender.
Budaya dan ideologi bukan satu hal yang turun dari langit. la di bentuk oleh
manusia dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Koentjaraningrat
mengatakan nilai budaya adalah faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang
atau masyarakat (Koentjaraningrat, 1974). Dalam budaya kita, seperti juga di banyak
negara dunia ketiga lain, budaya patriarki masih sangat kental. Dalam kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan ketimpangan, asimetris dan
subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas. Dalam kondisi yang seperti itu
proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi pada gilirannya perempuan kehilangan
otonomi atas dirinya. Eksploitasi serta kekerasan terjadi terhadap perempuan, baik di
wilayah domestik maupun publik. Dalam situasi demikian, maka perbedaan, diskriminasi,
dan ketidakadilan gender tumbuh dengan suburnya. Meskipun secara formal, dalam UUD
1945, hak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, tetapi dalam kenyataannya sangat
berbeda.
Bagi masyarakat tradisional, patriarki di pandang sebagai hal yang tidak perlu
dipermasalahkan, karena hal tersebut selalu dikaitkan dengan kodrat dan kekuasaaan
adikodrat yang tidak terbantahkan. Kepercayaan bahwa Tuhan telah menetapkan adanya
perbedaan laki-laki dan perempuan, sebingga perbedaan dalam kehidupan manusia pun
diatur berdasarkan perbedaan tersebut. Tambah lagi, faktor agama telah digunakan untuk
memperkuat kedudukan kaum laki-laki. Determinise biologis juga telah memperkuat
pandangan tersebut. Artinya. karena secara biologis perempuan dan laki-laki berbeda
maka fungsi-fungsi sosial ataupun kerja dengan masyarakat pun di ciptakan berbeda.
Laki-laki selalu dikaitkan dengan fungsi dan tugas di luar rumah, sedangkan perempuan
yang berkodrat melahirkan ada di dalam rumah, mengerjakan urusan domestik saja.
Perempuan bertugas pokok membesarkan anak, laki-laki bertugas mencari nafkah.
Perbedaan tersebut di pandang sebagai hal yang alamiah. Itu sebabnya ketimpangan
yang melahirkan subordinasi perempuan pun dipandang sebagai hal yang alamiah pula.
Hal tersebut bukan saja terjadi dalam keluarga, tetapi telah melebar ke dalam kehidupan
masyarakat.
Dalam pendidikan yang merupakan proses yang sangat penting bagi pertumbuhan
nalar seseorang, juga masih sangat patriarkis. Satu keluarga biasanya akan lebih
memberikan prioritas kepada anak laki-Iaki karena ia adalah penerus keluarga sedangkan
anak perempuan akan pindah dan masuk ke dalam keluarga lain. Pendidikan dalam
keluarga pun mensosialisasikan bahwa bapak adalah sentral, sehingga secara tidak
disadari akan mengecilkan peran perempuan dalam keluarga. Anak perempuan jarang
dilibatkan dalam pembicaraan kebijakan keluarga sehingga sosialisasi pada norma-norma
yang semacam itu akan berdampak pada pembentukan kepribadian dan sikapnya yang
cenderung tidak terbuka.
Dalam bidang teknologi, hingga sekarang tidak cukup ramah terhadap
perempuan. Anggapan bahwa tehnologi merupakan tugas laki-Iaki saat ini trend dunia
tehnologi masih male dominated, padahal dalam kemampuan perempuan tidak kalah,
tetapi apakah masyarakat memberi peluang, kesempatan kepada perempuan, selain
kaum perempuan diposisikan dipinggir "dikelas dua", karenanya harus ada perjuangan
keras melawan ideologi patriarkhi yang mengungkung perempuan.
Ketimpangan hubungan dalam keluarga juga tampak melalui pengaturan
kehamilan. Menerima atau tidaknya untuk ber-KB lebih sering ditentukan oleh suami,
yang "mengijinkan" isterinya menjadi akseptor. Menolak hubungan badan dengan suami
jarang terjadi karena doktrin agama yang menganggap isteri akan berdosa bila menolak.
Dalam masyarakat Jawa, umpamanya, masih berlaku nilai-nilai yang mencerminkan
subordinasi perempuan, seperti ungkapan "kanca wingking" (teman pendamping) atau
swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka terbawa). Ungkapan tersebut
mengandung arti bahwa perempuan tidak dapat melampaui suaminya dan perempuan
tidak berdaya dan tidak berkuasa atas dirinya.
Pada pola asimetris/ketidaksetaraan antara suami isteri, mengasumsikan satu
pihak sebagai kepala/pemimpin, pelindung, penanggungjawab, oleh karena ia yang kuat.
memiliki akses keluar, pemilik kuasa (informasi, ekonomi) sekaligus kontrol, pengambilan
keputusan. Sementara pihak lain dianggap lemah, sub-ordinat, yang harus
dikepalai/pengikut (karenanya harus patuh), dilindungi, dibatasi ruang lingkupnya. Maka,
dengan pola hubungan seperti ini akan memberi peluang munculnya kekerasan terhadap
perempuan, terutama bila salah satu pihak mengikuti atau keluar dari pola yang ada.
Dalam hukum waris pengaruh adat dan agama tidak dapat diabaikan. Salah satu
aturan gender dalam adat dapat kita lihat dalam soal pewarisan di tiga bentuk sistem
masyarakat adat, yakni patrilineal, matrilineal dan bilateral.
Dalam masyarakat patrilineal, seperti diwakili oleh suku Batak, Lampung dan juga
di Flores dalam kasus di atas, anak laki-laki akan tetap menuntut rumah keluarga sebagai
bagian warisan. Sekalipun dalam kenyataannya saudara perempuanlah yang mengurus
rumah, bahkan ikut bekerja keras membantu orang tua guna menghidupi saudara lakilakinya,
termasuk membiayai sekolah/ perantauannya.
Sedangkan dalam masyarakat matrilineal, yang diwakili oleh suku Minangkabau,
warisan "pusaka tinggi" diwariskan kepada anggota keluarga menurut garis ibu. Sekalipun
demikian mamaklah (paman laki-laki) yang memiliki kekuasaan pengaturannya. Seringkali
mamak juga ikut mengambil bagian dari warisan tersebut, dan bahkan menguasainya.
Adapun dalam masyarakat bilateral, seperti di Jawa, pembagian warisan antara anak lakilaki dan perempuan adalah 2:1, atau di kenal dalam istilah "sepikul segendong". Namun
sering kali anak perempuan yang terkecil di biarkan menguasai rumah keluarga dan kelak
dijadikan sebagai miliknya. Terhadap hal ini, saudara laki-akinya tidak akan menuntut.
Di bidang ekonomi, krisis ekonomi telah memarjinalkan perempuan dengan
berbagai kebijakan pemerintah yang lebih ditujukan kepada kaum laki-laki dengan
anggapan bahwa mereka adalah pencari nafkah. Sebagai contoh, kebijakan pekerjaan
padat karya yang hanya melibatkan kaum laki-laki saja. Contoh lain, dalam data statistik,
kita tidak menjumpai pendapatan selalu yang diciptakan oleh perempuan seperti menjahit,
katering, atau pekerjaan dalam sektor informal. Selama ini data pendapatan selalu diambil
dari para suami sebagai kepala keluarga, baik yang memiliki kerja formal ataupun
informal. Padahal kita tahu banyak perempuan yang berhasil mendapatkan uang dengan
cara kerja informal. Semestinya Biro Pusat Statistik memiliki data-data tersebut supaya
kerja perempuan pun di hargai oleh negara dan masyarakat.
Reformasi yang sedang berlangsung ini bukan hanya gerakan memerangi
penindasan, otoritarianisme, ketidakadilan, dan sebagainya, yang bersifat non demokratis,
tetapi kita harus melihatnya sebagai proses transisi menuju demokrasi. Sekarang inilah
kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri, serta segala bentuk
subordinasi dan marjinalisasi bukan waktunya lagi tetap melekat pada diri kaum
perempuan. ldeologi patriarkhis telah melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan gender
dalam berbagai bidang.
B. UU NO. 7 TAHUN 1984. TENTANG KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN
SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP WANITA (CEDAW).
Dukungan Pemerintah RI terhadap tujuan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Konvensi Wanita) yang dikemukan dalam
keterangan Pemerintah di DPR Jakarta, 27 Februari 1984 antara lain menghapuskan
diskriminasi dalam segala bentuk-bentuknya terhadap wanita dan mungkin dalam
terwujudnya prinsip-prinsip persamaan hak bagi wanitadi bidang politik, hukum, ekonomi,
dan sosial budaya.
MASIH KONSISTENKAH PEMERINTAH RI TERHADAP TUJUAN TERSEBUT HINGGA
KINI ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus diketahui terlebih dahulu apakah pengertian
"Diskriminasi" yang dimaksud dalam Konvensi tersebut?
Pasal 1 : Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah "DISKRIMINASI TERHADAP
WANITA" berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat
atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas
dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
nalar seseorang, juga masih sangat patriarkis. Satu keluarga biasanya akan lebih
memberikan prioritas kepada anak laki-Iaki karena ia adalah penerus keluarga sedangkan
anak perempuan akan pindah dan masuk ke dalam keluarga lain. Pendidikan dalam
keluarga pun mensosialisasikan bahwa bapak adalah sentral, sehingga secara tidak
disadari akan mengecilkan peran perempuan dalam keluarga. Anak perempuan jarang
dilibatkan dalam pembicaraan kebijakan keluarga sehingga sosialisasi pada norma-norma
yang semacam itu akan berdampak pada pembentukan kepribadian dan sikapnya yang
cenderung tidak terbuka.
Dalam bidang teknologi, hingga sekarang tidak cukup ramah terhadap
perempuan. Anggapan bahwa tehnologi merupakan tugas laki-Iaki saat ini trend dunia
tehnologi masih male dominated, padahal dalam kemampuan perempuan tidak kalah,
tetapi apakah masyarakat memberi peluang, kesempatan kepada perempuan, selain
kaum perempuan diposisikan dipinggir "dikelas dua", karenanya harus ada perjuangan
keras melawan ideologi patriarkhi yang mengungkung perempuan.
Ketimpangan hubungan dalam keluarga juga tampak melalui pengaturan
kehamilan. Menerima atau tidaknya untuk ber-KB lebih sering ditentukan oleh suami,
yang "mengijinkan" isterinya menjadi akseptor. Menolak hubungan badan dengan suami
jarang terjadi karena doktrin agama yang menganggap isteri akan berdosa bila menolak.
Dalam masyarakat Jawa, umpamanya, masih berlaku nilai-nilai yang mencerminkan
subordinasi perempuan, seperti ungkapan "kanca wingking" (teman pendamping) atau
swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka terbawa). Ungkapan tersebut
mengandung arti bahwa perempuan tidak dapat melampaui suaminya dan perempuan
tidak berdaya dan tidak berkuasa atas dirinya.
Pada pola asimetris/ketidaksetaraan antara suami isteri, mengasumsikan satu
pihak sebagai kepala/pemimpin, pelindung, penanggungjawab, oleh karena ia yang kuat.
memiliki akses keluar, pemilik kuasa (informasi, ekonomi) sekaligus kontrol, pengambilan
keputusan. Sementara pihak lain dianggap lemah, sub-ordinat, yang harus
dikepalai/pengikut (karenanya harus patuh), dilindungi, dibatasi ruang lingkupnya. Maka,
dengan pola hubungan seperti ini akan memberi peluang munculnya kekerasan terhadap
perempuan, terutama bila salah satu pihak mengikuti atau keluar dari pola yang ada.
Dalam hukum waris pengaruh adat dan agama tidak dapat diabaikan. Salah satu
aturan gender dalam adat dapat kita lihat dalam soal pewarisan di tiga bentuk sistem
masyarakat adat, yakni patrilineal, matrilineal dan bilateral.
Dalam masyarakat patrilineal, seperti diwakili oleh suku Batak, Lampung dan juga
di Flores dalam kasus di atas, anak laki-laki akan tetap menuntut rumah keluarga sebagai
bagian warisan. Sekalipun dalam kenyataannya saudara perempuanlah yang mengurus
rumah, bahkan ikut bekerja keras membantu orang tua guna menghidupi saudara lakilakinya,
termasuk membiayai sekolah/ perantauannya.
Sedangkan dalam masyarakat matrilineal, yang diwakili oleh suku Minangkabau,
warisan "pusaka tinggi" diwariskan kepada anggota keluarga menurut garis ibu. Sekalipun
demikian mamaklah (paman laki-laki) yang memiliki kekuasaan pengaturannya. Seringkali
mamak juga ikut mengambil bagian dari warisan tersebut, dan bahkan menguasainya.
Adapun dalam masyarakat bilateral, seperti di Jawa, pembagian warisan antara anak lakilaki dan perempuan adalah 2:1, atau di kenal dalam istilah "sepikul segendong". Namun
sering kali anak perempuan yang terkecil di biarkan menguasai rumah keluarga dan kelak
dijadikan sebagai miliknya. Terhadap hal ini, saudara laki-akinya tidak akan menuntut.
Di bidang ekonomi, krisis ekonomi telah memarjinalkan perempuan dengan
berbagai kebijakan pemerintah yang lebih ditujukan kepada kaum laki-laki dengan
anggapan bahwa mereka adalah pencari nafkah. Sebagai contoh, kebijakan pekerjaan
padat karya yang hanya melibatkan kaum laki-laki saja. Contoh lain, dalam data statistik,
kita tidak menjumpai pendapatan selalu yang diciptakan oleh perempuan seperti menjahit,
katering, atau pekerjaan dalam sektor informal. Selama ini data pendapatan selalu diambil
dari para suami sebagai kepala keluarga, baik yang memiliki kerja formal ataupun
informal. Padahal kita tahu banyak perempuan yang berhasil mendapatkan uang dengan
cara kerja informal. Semestinya Biro Pusat Statistik memiliki data-data tersebut supaya
kerja perempuan pun di hargai oleh negara dan masyarakat.
Reformasi yang sedang berlangsung ini bukan hanya gerakan memerangi
penindasan, otoritarianisme, ketidakadilan, dan sebagainya, yang bersifat non demokratis,
tetapi kita harus melihatnya sebagai proses transisi menuju demokrasi. Sekarang inilah
kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri, serta segala bentuk
subordinasi dan marjinalisasi bukan waktunya lagi tetap melekat pada diri kaum
perempuan. ldeologi patriarkhis telah melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan gender
dalam berbagai bidang.
B. UU NO. 7 TAHUN 1984. TENTANG KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN
SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP WANITA (CEDAW).
Dukungan Pemerintah RI terhadap tujuan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Konvensi Wanita) yang dikemukan dalam
keterangan Pemerintah di DPR Jakarta, 27 Februari 1984 antara lain menghapuskan
diskriminasi dalam segala bentuk-bentuknya terhadap wanita dan mungkin dalam
terwujudnya prinsip-prinsip persamaan hak bagi wanitadi bidang politik, hukum, ekonomi,
dan sosial budaya.
MASIH KONSISTENKAH PEMERINTAH RI TERHADAP TUJUAN TERSEBUT HINGGA
KINI ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus diketahui terlebih dahulu apakah pengertian
"Diskriminasi" yang dimaksud dalam Konvensi tersebut?
Pasal 1 : Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah "DISKRIMINASI TERHADAP
WANITA" berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat
atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas
dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Konvensi Wanita secara konkrit menekankan :
Kesetaraan dan keadilan antara Perempuan dan Laki-laki (genderequality and
equity), persamaan hak dan kesempatan serta perlakukan adil disegala bidang dalam
semua kegiatan meskipun diakui adanya perbedaan:
1. Perbedaan biologi/kodrati antara perempuan dan laki-laki.
2. Perbedaan perlakuan terhadap perempuan berdasarkan gender dengan akibat
dimana perempuan dirugikan:
- perempuan sebagai subordinasi laki-Iaki baik dalam keluarga maupun
masyarakat.
- pembatasan kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang
ada untuk tumbuh berkembang secara optimal, menyeluruh dan terpadu
Peluang untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil
pembangunan.
3. Perbedaan kondisi dan posisi perempuan terhadap laki-Iaki dimana perempuan
berada dalam kondisi dan posisi yang lemah karena sejak semula sudah dipolakan
adanya diskriminasi dalam budaya adat atau karena lingkungan keluarga,
masyarakat yang tidak mendukung adanya kesetaraan dan kemandirian
perempuan.
4. Prinsip dasar dari Konvensi Wanita yang kita buat yaitu :
a. Prinsip persamaan substantif
b. Prinsip non diskriminasi
c. Prinsip kewajiban negara.
a. Prinsip Persamaan Subtantif.
Prinsip Persamaan Substantif meliputi :
Pendekatan yang terdiri atas langkah-langkah khusus agar perempuan mempunyai
akses yang sama dan dapat menikmati manfaat yang sama dengan laki-laki terhadap
kesempatan dan peluang yang ada.
Contoh: secara formal ditetapkan serta berasumsi perempuan dan laki-laki adalah
sama, dengan akibat harus diperlakukan sama dan mempunyai kesempatan yang sama
serta masing-masing akan melaksanakan kinerja yang sama pula, namun faktanya tidak
demikian. Misalnya: kesempatan kerja malam hari bagi laki-laki dan perempuan adalah
sama secara de jure, ternyata bagi perempuan belum tentu dapat memanfaatkan
kesempatan kerja malam tersebut, karena harus menghadapi lingkungan sosial yang
tidak sama, sebab fakta dalam masyarakat mengkondisikan bahwa perempuan tidak pada
tempatnya bekerja diluar rumah pada malam hari karena menghindari pelecehan atau
keadaan tidak aman bagi dirinya, sehingga perempuan kalau toh keluar rumah pada
waktu malam untuk bekerja akan menanggung resiko sendiri bila terjadi sesuatu
terhadap dirinya. Kondisi semacam ini tidak akan terjadi pada laki-laki. Maka diperlukan pendekatan koreksi dimana perusahaan harus menyediakan transportasi antar jemput
bagi pegawai perempuan, Hal ini biasanya akan menambah pengeluaran (budget)
perusahaan, maka lebih baik perusahaan tidak menerima pegawai perempuan.
Langkah-langkah untuk merealisasikan hak perempuan ialah dengan menghapus
adanya perbedaan, disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan
misalkan: keharusan adanya perubahan pola pikir dan tingkah laku sosial budaya
terhadap perempuan, menghapuskan prasangka serta kebiasaan dan praktek yang
bersifat diskriminatif (untuk tidak mengganggu perempuan yang jalan sendiri di malam
hari).
Kewajiban Pemerintah untuk mengembangkan kebijaksanaan dan peraturan
berkaitan dengan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai persamaan
substantif, hak yang sama dan persamaan legal standard antara laki-laki dan perempuan
(misalnya; hak yang sama dalam keluarga, peluang kerja yang sama, pemberian gaji
yang sama, kewarisan, kewarganegaraan, kesempatan di bidang politik).
b. Prinsip Non Diskriminasi
Selain sudah jelas apa pengertian diskriminasi dalam Pasal 1 , dapat disimak
dalam pasal 4, bahwa yang tidak dianggap diskriminasi ialah tindakan yang disebut
affirmative action yaitu tindakan khusus yang bersifat sementara dengan tujuan untuk
mendapatkan persamaan kesempatan dan perlakuan sama yang nyata antara
perempuan dan laki-Iaki.
Misalnya : perlindungan kehamilan bagi perempuan (cuti hamil, cuti haid) hal ini
tidak dapat dianggap sebagai pemberian kesempatan yang diskriminatif bagi pekerja lakilaki.
c. Prinsip Kewajiban Negara
Menjamin hak-hak perempuan di bidang hukum dan kebijaksanaan serta jaminan
kepada perempuan agar dapat menikmati hasil pelaksananya. Negara tidak saja wajib
menjamin persamaan hak secara de jure (substansi hukumnya) tetapi juga dari segi de
facto yaitu dengan mendorong realisasi terwujudnya hak perempuan (Pasal 2)
Misalnya : mencabut/mengamandir peraturan, kebijaksanaan, kekuasaan praktek
yang diskriminatif terhadap perempuan dan mengadakan pembaharuan-pembaharuan
yang sensitif gender.
Secara ringkas kewajiban negara meliputi: mencegah diskriminasi terhadap
perempuan, melarang diskriminasi perempuan, melakukan identifikasi adanya
diskriminasi terhadap perempuan dan menjalankan langkah-langkah untuk mengatasinya,
melaksanakan sanksi atas tindakan diskriminatif terhadap perempuan, memberikan
dukungan pada penegakan hak-hak perempuan dan mendorong persamaan, kesetaraan
dan keadilan melalul langkah proaktif, dan meningkatkan persamaan de facto perempuan
dan laki-Iaki. Rincian yang ada dalam konvensi menggambarkan bahwa perubahan sosial
budaya dan ekonomi serta politik harus terjadi dan diwujudkan dalam hampir semua
penghidupan yang berarti merubah peraturan termasuk mengubah pola tingkah laku yang
semula diskriminatif yang telah lama dilegitimasi oleh adat dan budaya menuju pola
kesetaraan dan keadilan gender. Untuk memberdayakan perempuan, sumber daya
manusia adalah faktor penting yang perlu ditingkatkan.
C. PERUBAHAN SOSIAL MENUJU KE MITRASEJAJARAN GENDER
Proses industrialisasi dan kemajuan tehnologi informasi membawa dampak pada
perubahan sosial pada peranan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Jumlah
kaum perempuan yang bekerja di luar rumah (di publik, sebagai Pegawai Negeri, di
bidang Pemerintahan, Legislatif dan Yudikatif), semakin meningkat, di ikuti juga oleh
fenomena meningkatnya jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga (Biro
statistik "Strategi Kehidupan Perempuan Kepala Rumab Tangga").
Fenomena meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja memang diharapkan
bahkan memang diharapkan bahkan didorong oleh negara lewat konsep ke mitrasejajaran
pria dan wanita dalam GBHN . Diharapkan perempuan akan lebih banyak berpartisipasi
dalam pembangunan untuk peningkatan pemberdayaan perempuan tidak saja untuk
masa kini tetapi juga untuk masa yang akan datang agar tetap berkesinambungan dalam
pembangunan berkelanjutan.
Dapat dikemukan disini tentang data-data pemberdayaan perempuan dalam
bidang Penegakan Hukum antara lain:
Data Hakim wanita di seluruh Indonesia:
- Peradilan Umum :
481 orang, antara lain 41 orang menjabat Ketua/Wakil Ketua.
- Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) :
21 orang, antara lain 1 orang menjabat Ketua PT TUN
- Pengadilan Agama : 462 orang
- Mahkamah Agung :
6 orang, 1 orang menjabat sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung bidang
Pengawasan
Data Polisi wanita di seluruh lndonesia.
- Kepala Divisi Penerangan Polda Bali.
- KAPOLRES Subang.
- Wakil POLRES :
6 orang, antara lain ; Jakarta Selatan, Jakarta Timur.
Kesetaraan dan keadilan antara Perempuan dan Laki-laki (genderequality and
equity), persamaan hak dan kesempatan serta perlakukan adil disegala bidang dalam
semua kegiatan meskipun diakui adanya perbedaan:
1. Perbedaan biologi/kodrati antara perempuan dan laki-laki.
2. Perbedaan perlakuan terhadap perempuan berdasarkan gender dengan akibat
dimana perempuan dirugikan:
- perempuan sebagai subordinasi laki-Iaki baik dalam keluarga maupun
masyarakat.
- pembatasan kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang
ada untuk tumbuh berkembang secara optimal, menyeluruh dan terpadu
Peluang untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil
pembangunan.
3. Perbedaan kondisi dan posisi perempuan terhadap laki-Iaki dimana perempuan
berada dalam kondisi dan posisi yang lemah karena sejak semula sudah dipolakan
adanya diskriminasi dalam budaya adat atau karena lingkungan keluarga,
masyarakat yang tidak mendukung adanya kesetaraan dan kemandirian
perempuan.
4. Prinsip dasar dari Konvensi Wanita yang kita buat yaitu :
a. Prinsip persamaan substantif
b. Prinsip non diskriminasi
c. Prinsip kewajiban negara.
a. Prinsip Persamaan Subtantif.
Prinsip Persamaan Substantif meliputi :
Pendekatan yang terdiri atas langkah-langkah khusus agar perempuan mempunyai
akses yang sama dan dapat menikmati manfaat yang sama dengan laki-laki terhadap
kesempatan dan peluang yang ada.
Contoh: secara formal ditetapkan serta berasumsi perempuan dan laki-laki adalah
sama, dengan akibat harus diperlakukan sama dan mempunyai kesempatan yang sama
serta masing-masing akan melaksanakan kinerja yang sama pula, namun faktanya tidak
demikian. Misalnya: kesempatan kerja malam hari bagi laki-laki dan perempuan adalah
sama secara de jure, ternyata bagi perempuan belum tentu dapat memanfaatkan
kesempatan kerja malam tersebut, karena harus menghadapi lingkungan sosial yang
tidak sama, sebab fakta dalam masyarakat mengkondisikan bahwa perempuan tidak pada
tempatnya bekerja diluar rumah pada malam hari karena menghindari pelecehan atau
keadaan tidak aman bagi dirinya, sehingga perempuan kalau toh keluar rumah pada
waktu malam untuk bekerja akan menanggung resiko sendiri bila terjadi sesuatu
terhadap dirinya. Kondisi semacam ini tidak akan terjadi pada laki-laki. Maka diperlukan pendekatan koreksi dimana perusahaan harus menyediakan transportasi antar jemput
bagi pegawai perempuan, Hal ini biasanya akan menambah pengeluaran (budget)
perusahaan, maka lebih baik perusahaan tidak menerima pegawai perempuan.
Langkah-langkah untuk merealisasikan hak perempuan ialah dengan menghapus
adanya perbedaan, disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan
misalkan: keharusan adanya perubahan pola pikir dan tingkah laku sosial budaya
terhadap perempuan, menghapuskan prasangka serta kebiasaan dan praktek yang
bersifat diskriminatif (untuk tidak mengganggu perempuan yang jalan sendiri di malam
hari).
Kewajiban Pemerintah untuk mengembangkan kebijaksanaan dan peraturan
berkaitan dengan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai persamaan
substantif, hak yang sama dan persamaan legal standard antara laki-laki dan perempuan
(misalnya; hak yang sama dalam keluarga, peluang kerja yang sama, pemberian gaji
yang sama, kewarisan, kewarganegaraan, kesempatan di bidang politik).
b. Prinsip Non Diskriminasi
Selain sudah jelas apa pengertian diskriminasi dalam Pasal 1 , dapat disimak
dalam pasal 4, bahwa yang tidak dianggap diskriminasi ialah tindakan yang disebut
affirmative action yaitu tindakan khusus yang bersifat sementara dengan tujuan untuk
mendapatkan persamaan kesempatan dan perlakuan sama yang nyata antara
perempuan dan laki-Iaki.
Misalnya : perlindungan kehamilan bagi perempuan (cuti hamil, cuti haid) hal ini
tidak dapat dianggap sebagai pemberian kesempatan yang diskriminatif bagi pekerja lakilaki.
c. Prinsip Kewajiban Negara
Menjamin hak-hak perempuan di bidang hukum dan kebijaksanaan serta jaminan
kepada perempuan agar dapat menikmati hasil pelaksananya. Negara tidak saja wajib
menjamin persamaan hak secara de jure (substansi hukumnya) tetapi juga dari segi de
facto yaitu dengan mendorong realisasi terwujudnya hak perempuan (Pasal 2)
Misalnya : mencabut/mengamandir peraturan, kebijaksanaan, kekuasaan praktek
yang diskriminatif terhadap perempuan dan mengadakan pembaharuan-pembaharuan
yang sensitif gender.
Secara ringkas kewajiban negara meliputi: mencegah diskriminasi terhadap
perempuan, melarang diskriminasi perempuan, melakukan identifikasi adanya
diskriminasi terhadap perempuan dan menjalankan langkah-langkah untuk mengatasinya,
melaksanakan sanksi atas tindakan diskriminatif terhadap perempuan, memberikan
dukungan pada penegakan hak-hak perempuan dan mendorong persamaan, kesetaraan
dan keadilan melalul langkah proaktif, dan meningkatkan persamaan de facto perempuan
dan laki-Iaki. Rincian yang ada dalam konvensi menggambarkan bahwa perubahan sosial
budaya dan ekonomi serta politik harus terjadi dan diwujudkan dalam hampir semua
penghidupan yang berarti merubah peraturan termasuk mengubah pola tingkah laku yang
semula diskriminatif yang telah lama dilegitimasi oleh adat dan budaya menuju pola
kesetaraan dan keadilan gender. Untuk memberdayakan perempuan, sumber daya
manusia adalah faktor penting yang perlu ditingkatkan.
C. PERUBAHAN SOSIAL MENUJU KE MITRASEJAJARAN GENDER
Proses industrialisasi dan kemajuan tehnologi informasi membawa dampak pada
perubahan sosial pada peranan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Jumlah
kaum perempuan yang bekerja di luar rumah (di publik, sebagai Pegawai Negeri, di
bidang Pemerintahan, Legislatif dan Yudikatif), semakin meningkat, di ikuti juga oleh
fenomena meningkatnya jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga (Biro
statistik "Strategi Kehidupan Perempuan Kepala Rumab Tangga").
Fenomena meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja memang diharapkan
bahkan memang diharapkan bahkan didorong oleh negara lewat konsep ke mitrasejajaran
pria dan wanita dalam GBHN . Diharapkan perempuan akan lebih banyak berpartisipasi
dalam pembangunan untuk peningkatan pemberdayaan perempuan tidak saja untuk
masa kini tetapi juga untuk masa yang akan datang agar tetap berkesinambungan dalam
pembangunan berkelanjutan.
Dapat dikemukan disini tentang data-data pemberdayaan perempuan dalam
bidang Penegakan Hukum antara lain:
Data Hakim wanita di seluruh Indonesia:
- Peradilan Umum :
481 orang, antara lain 41 orang menjabat Ketua/Wakil Ketua.
- Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) :
21 orang, antara lain 1 orang menjabat Ketua PT TUN
- Pengadilan Agama : 462 orang
- Mahkamah Agung :
6 orang, 1 orang menjabat sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung bidang
Pengawasan
Data Polisi wanita di seluruh lndonesia.
- Kepala Divisi Penerangan Polda Bali.
- KAPOLRES Subang.
- Wakil POLRES :
6 orang, antara lain ; Jakarta Selatan, Jakarta Timur.
- KAPOLSEK :
20 orang, antara lain ; Bandara Soekarno Hatta, Jakarta Selatan
- Kepala Sekolab Polisi Wanita.
Pada struktur paling bawah, yaitu desa, telah mulai bermunculan perempuan Kepala
Desa di beberapa desa di Jawa dan Kalimantan dan juga Bupati Kebumen (Jawa Tengah)
yang dipimpin seorang perempuan itupun merupakan hasil perjuangan yang sangat keras
karena mereka harus membuktikan diri mampu dan disamping itu harus berhadapan
dengan kultur yang masih enggan menerima perempuan sebagai pemimpin desa ataupun
kabupaten.
Reformasi yang merupakan transisi menuju demokrasi telah membuka peluang bagi
kaum perempuan untuk mengubah isu personal menjadi politis (the personal is political).
Perubahan politik ini sangat penting bagi gerakan perempuan untuk mulai mengikis
pandangan-pandangan patriarkis yang merugikan perempuan.
BAB II
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM HUKUM POSITIF
A. PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG DISKRIMINATIF PADA ZAMAN
KOLONIAL.
Sejak semula pada umumnya sudah dirasakan sebagai suatu keganjilan, bahwa di
Indonesia, meskipun telah merupakan suatu negara merdeka, masih saja berlaku banyak
undang-undang yang sifat dan bertujuan untuk pemenuhan kepentingan kaum penjajah.
Mengingat bahwa Burgerlijk Wetboek (BW), sengaja disusun sebagai tiruan belaka
dari BW di Negeri Belanda (dengan sebutan Azas Konkordansi). Timbul pertanyaan,
masih pada tempatnyakah memandang BW sejajar dengan Undang-undang yang secara
resmi berlaku di Indonesia ?
Bahwa selain pasal-pasal tersebut bersifat kolonial, dipandang amat diskriminatif
dan merugikan bagi penduduk Indonesia khususnya bagi perempuan dalam perkawinan.
Sebagai konsekuensi dari gagasan ini, Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi
antara lain pasal 108, 110 dan 284 ayat 3 BW Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
No.3 Tahun 1963 yaitu:
Pasal-pasal 108 dan 110 BW:
tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk
menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami.
Pasal 284 ayat 3 BW:
mengenai pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan oleh seorang perempuan
Indonesia asli. Dengan demikian, pengakuan anak tidak lagi berakibat putusnya perhubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga juga tentang hak ini tidak ada
lagi perbedaan di antara semua warga negara Indonesia.
Dengan tidak berlakunya Pasal 108 dan 110 BW, maka perempuan Indonesia
dalam ikatan perkawinan dapat melakukan perbuatan hukum sendiri (dianggap
bekwaam), pasal tersebut menjadi dasar pembentukan Pasal 31 ayat 2 UU No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Sedangkan dengan tidak berlakunya Pasal 284 ayat 3 BW maka anak diluar
perkawinan dari perempuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan status hukum
tidak perlu pengakuan lagi dari ibu kandungnya (sebagai pemikiran bahwa moeder maakt
geen bastaard). Pasal ini adalah sebagai dasar, pembentukan Pasal 43 ayat 1 bahwa
anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.
Masih ada beberapa pasal dari BW yang bersifat kolonial dan sangat bias gender
namun hingga sekarang belum pernah terjamah atau di cabut antara lain :
Pasal 287 : Menyelidiki soal siapakah bapak seorang anak adalah terlarang. Sementara
itu, apabila terjadi salah satu kejahatan tersebut dalam Pasal 285 sampai
dengan 288, 294 atau 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan saat
berlangsungnya kejahatan itu bersesuaian dengan saat kehamilan
perempuan terhadap siapa kejahatan itu dilakukan, maka tuntutan mereka
yang berkepentingan, bolehlah si tersalah dinyatakan sebagai bapak si
anak.
Pasal 288 : Menyelidiki soal siapakah ibu seorang anak luar kawin adalah di
perbolehkan. Dalam hal yang demikian, si anak harus membuktikan bahwa
ia adalah anak yang dilahirkan oleh si ibu. Si anak tak diperbolehkan
membuktikannya, dengan saksi kecuali, kiranya telab ada bukti permulaan
dengan tulisan.
B. BIAS GENDER DALAM SUBSTANSI HUKUM POSITIF
Pada dasarnya prinsip persamaan telah menjadi bagian dari sistem hukum kita
sebagaimana tercermin secara umum dalam Pasal 27 UUD 1945. Dalam rangka
memperkokoh prinsip tersebut pemerintah pada masa itu telah meratifikasi berbagai
konvensi internasional seperti :
- Konvensi tentang Pemakaian Tenaga Kerja Perempuan Dalam Pekerjaan di Bawah
Tanah dalam Segala Jenis Pertambangan, diratifikasi tanggal 12 Juni 1950.
- Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan, diratifikasi tanggal 12 Juni 1958.
- Konvensi tentang Pengupahan yang Sama bagi Laki-Iaki dan Perempuan untuk
Pekerjaan yang Sama Nilainya, diratifikasi tanggai 8 Nopember 1958.
- Konvensi tentang Anti Diskriminasi dalam Pendidikan, diratifikasi tanggal 1 Oktober
1967.
- Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. (UU No.7
Tahun 1984).
20 orang, antara lain ; Bandara Soekarno Hatta, Jakarta Selatan
- Kepala Sekolab Polisi Wanita.
Pada struktur paling bawah, yaitu desa, telah mulai bermunculan perempuan Kepala
Desa di beberapa desa di Jawa dan Kalimantan dan juga Bupati Kebumen (Jawa Tengah)
yang dipimpin seorang perempuan itupun merupakan hasil perjuangan yang sangat keras
karena mereka harus membuktikan diri mampu dan disamping itu harus berhadapan
dengan kultur yang masih enggan menerima perempuan sebagai pemimpin desa ataupun
kabupaten.
Reformasi yang merupakan transisi menuju demokrasi telah membuka peluang bagi
kaum perempuan untuk mengubah isu personal menjadi politis (the personal is political).
Perubahan politik ini sangat penting bagi gerakan perempuan untuk mulai mengikis
pandangan-pandangan patriarkis yang merugikan perempuan.
BAB II
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM HUKUM POSITIF
A. PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG DISKRIMINATIF PADA ZAMAN
KOLONIAL.
Sejak semula pada umumnya sudah dirasakan sebagai suatu keganjilan, bahwa di
Indonesia, meskipun telah merupakan suatu negara merdeka, masih saja berlaku banyak
undang-undang yang sifat dan bertujuan untuk pemenuhan kepentingan kaum penjajah.
Mengingat bahwa Burgerlijk Wetboek (BW), sengaja disusun sebagai tiruan belaka
dari BW di Negeri Belanda (dengan sebutan Azas Konkordansi). Timbul pertanyaan,
masih pada tempatnyakah memandang BW sejajar dengan Undang-undang yang secara
resmi berlaku di Indonesia ?
Bahwa selain pasal-pasal tersebut bersifat kolonial, dipandang amat diskriminatif
dan merugikan bagi penduduk Indonesia khususnya bagi perempuan dalam perkawinan.
Sebagai konsekuensi dari gagasan ini, Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi
antara lain pasal 108, 110 dan 284 ayat 3 BW Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
No.3 Tahun 1963 yaitu:
Pasal-pasal 108 dan 110 BW:
tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk
menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami.
Pasal 284 ayat 3 BW:
mengenai pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan oleh seorang perempuan
Indonesia asli. Dengan demikian, pengakuan anak tidak lagi berakibat putusnya perhubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga juga tentang hak ini tidak ada
lagi perbedaan di antara semua warga negara Indonesia.
Dengan tidak berlakunya Pasal 108 dan 110 BW, maka perempuan Indonesia
dalam ikatan perkawinan dapat melakukan perbuatan hukum sendiri (dianggap
bekwaam), pasal tersebut menjadi dasar pembentukan Pasal 31 ayat 2 UU No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Sedangkan dengan tidak berlakunya Pasal 284 ayat 3 BW maka anak diluar
perkawinan dari perempuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan status hukum
tidak perlu pengakuan lagi dari ibu kandungnya (sebagai pemikiran bahwa moeder maakt
geen bastaard). Pasal ini adalah sebagai dasar, pembentukan Pasal 43 ayat 1 bahwa
anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.
Masih ada beberapa pasal dari BW yang bersifat kolonial dan sangat bias gender
namun hingga sekarang belum pernah terjamah atau di cabut antara lain :
Pasal 287 : Menyelidiki soal siapakah bapak seorang anak adalah terlarang. Sementara
itu, apabila terjadi salah satu kejahatan tersebut dalam Pasal 285 sampai
dengan 288, 294 atau 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan saat
berlangsungnya kejahatan itu bersesuaian dengan saat kehamilan
perempuan terhadap siapa kejahatan itu dilakukan, maka tuntutan mereka
yang berkepentingan, bolehlah si tersalah dinyatakan sebagai bapak si
anak.
Pasal 288 : Menyelidiki soal siapakah ibu seorang anak luar kawin adalah di
perbolehkan. Dalam hal yang demikian, si anak harus membuktikan bahwa
ia adalah anak yang dilahirkan oleh si ibu. Si anak tak diperbolehkan
membuktikannya, dengan saksi kecuali, kiranya telab ada bukti permulaan
dengan tulisan.
B. BIAS GENDER DALAM SUBSTANSI HUKUM POSITIF
Pada dasarnya prinsip persamaan telah menjadi bagian dari sistem hukum kita
sebagaimana tercermin secara umum dalam Pasal 27 UUD 1945. Dalam rangka
memperkokoh prinsip tersebut pemerintah pada masa itu telah meratifikasi berbagai
konvensi internasional seperti :
- Konvensi tentang Pemakaian Tenaga Kerja Perempuan Dalam Pekerjaan di Bawah
Tanah dalam Segala Jenis Pertambangan, diratifikasi tanggal 12 Juni 1950.
- Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan, diratifikasi tanggal 12 Juni 1958.
- Konvensi tentang Pengupahan yang Sama bagi Laki-Iaki dan Perempuan untuk
Pekerjaan yang Sama Nilainya, diratifikasi tanggai 8 Nopember 1958.
- Konvensi tentang Anti Diskriminasi dalam Pendidikan, diratifikasi tanggal 1 Oktober
1967.
- Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. (UU No.7
Tahun 1984).
Memang benar, sementara itu Pemerintah telah mengadakan perubahan
peraturan-peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan status perempuan dan keluarga
dalam masyarakat dengan menerbitkan UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang telah
memberikan kepada perempuan beberapa hak yang sama dengan laki-laki yakni samasama
menjadi subjek hukum, perempuan bisa memiliki dan menguasai harta benda
sendiri, membuat perjanjian karena mampu melakukan perbuatan hukum sendiri
(bekwaam), tidak dapat dipaksa kawin bahkan dapat mengajukan perceraian terhadap
suaminya, hak-hak mana tidak diakui dalam peraturan yang berlaku sebelumnya. Namun
demikian, UU ini mengandung kelemahan dan ada beberapa ambivalensinya, karena
dipihak lain menetapkan peran yang berbeda bagi laki-Iaki dan perempuan dimana lakilaki
di definisikan berperan di sektor publik (pencari nafkah) dan perempuan di sektor
privat/domestik (rumah tangga). Bahkan UU ini masih memungkinkan seorang suami
untuk beristeri lebih dari satu (Pasal 3 dan 4).
Perhatikan pula Pasal 41 UU Perkawinan mengenai putusnya perkawinan karena
perceraian. Tidak ada sanksi apabila ayah tidak memberikan biaya pemeliharaan dan
pendidikan bagi anak-anaknya. Itu berarti perempuan sering harus memikul beban
tanggungjawab itu, bila ibunya diberikan hak penguasaan anak. Dalam hal ini laki-laki dan
perempuan tidak dibedakan secara jelas seperti dalam Pasal 31 dan 34 UU Perkawinan,
tetapi kepentingan janda cerai dalam pemeliharaan anak tidak terjangkau oleh hukum.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang berlaku
mengenai perlindungan hukum pada perempuan terhadap tindak kekerasan, baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat. Walaupun pemerkosaan memang ditentukan
sebagai tindakan pidana dan ada sanksi hukumnya, tetapi ketentuan yang mengharuskan
adanya "bukti" mempersulit seorang perempuan untuk menyeret pelakunya ke
pengadilan, karena biasanya tidak ada saksi saat pemerkosaan terjadi dan membuktikan
pemerkosaan melalui visum et repertum dokter belum tentu berhasil bilamana peristiwa
sudah lama terjadi. Lagipula memaksa isteri untuk berhubungan badan belum diakui
sebagai "pemerkosa" (marital rape) menurut hukum. Dengan demikian KUHP belum
sepenuhnya menampung kepentingan perempuan atas perlindungan terhadap kekerasan
seksual karena peraturan-peraturan tersebut tidak memadai dan tepat guna.
Pengertian "kekerasan" dalam Pasal 89 KUHP mempunyai pengertian yang sempit
(meskipun dalam penjelasannya karangan R. Susilo Hal 84: mengurung seseorang dalam
ruang tertutup termasuk perbuatan kekerasan).
Bahwa kekerasan menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan (Majelis Umum PBB 1993) pengertiannya diperluas termasuk kekerasan
secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, di masyarakat dan
dilakukan serta dibenarkan oleh negara.
Penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351, 353, 354 bilamana dilakukan antara
lain terhadap ibu-nya, isterinya, hukumannya ditambah dengan 1/3-nya (pasaI 356
KUHP), namun oleh Penegak Hukum jarang di terapkan. Dalam hal ini peraturannya
memadai tetapi tergantung dari para pelaksana dan para Penegak Hukum, karena
bilamana tidak didakwakan oleh Jaksa maka Hakim tidak dapat memutuskan atas dasar pemberatan berdasarkan pasal tersebut. Dalam kondisi yang demikian para penegak
hukumlah yang belum sensitif gender.
Pengaturan tentang perdagangan perempuan dan eksploitasi anak dalam
KUHP hanya dimasukkan dalam kategori kejahatan terhadap kesopanan yang
maksimum hukumnya hanya 6 tahun. Di tinjau dari segi keadilan gender hukuman
tersebut tidak setimpal dengan pengorbanan, tidak dapat dirasakan adanya penderitaan
kehormatan dan martabat perempuan yang menjadi korban.
Pengaturan tentang Mucikari (Germo) dalam KUHP Pasal 506 termasuk
klasifikasi Pelanggaran Terhadap Ketertiban Umum dengan hukuman maksimum 3 bulan,
benar-benar dirasakan tidak memadai dibandingkan dengan tindak pidana yang
dilakukannya, kekejaman lahir maupun batin yang dilakukan terhadap korban, sebaliknya
besarnya keuntungan yang diterima oleh mucikari terhadap penderitaan korban.
Juga kejahatan susila seperti perkosaan pasal 285, pencabulan pada pasal 286,
287 ,289, dan 290 yang akhir-akhir ini marak baik dilakukan oleh keluarga maupun remaja
ataupun orang tua yang sangat memprihatinkan biasanya justru terjadi di Iingkungan
sendiri yang dilakukan terhadap korban, itupun hanya mendapatkan hukuman maksimum
12 th, 9 th. Kembali kepada para Penegak Hukum yang sebenarnya dapat menjerat
dengan pemberatan pasal 291 (bila dimungkinkan), tetapi karena adanya faktor Sumber
Daya Manusia, moral atau mungkin adanya KKN, maka pasal tersebut dihindari.
Dengan memperhatikan pasal-pasal dari bidang Hukum perdata maupun Pidana
tersebut diatas, amat sangat dirasakan adanya ketidakadilan gender, yang benar-benar
merugikan tidak saja fisik tapi terutama psikis selain juga martabat dan kehormatan
perempuan serta keluarganya.
Menyadari terdapatnya ketimpangan? keganjilan dan ketidakadilan gender
tersebut, sekarang Pemerintah sedang gigih berusaha untuk melakukan tindakan dengan
membentuk peraturan atau kebijakan yang non-diskriminasi, meningkatkan kesetaraan
gender menuju kepada keadilan gender.
BAB III
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
UNTUK MEWUJUDKAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
Diharapkan adanya komitmen bersama terhadap upaya mengatasi masalahmasalah
yang dihadapi perempuan dalam menghapuskan kendala-kendala yang
menghalangi terwujudnya Kesetaraan dan keadilan gender.
Perlu menyadari hal-hal apakah yang harus diubah untuk memungkinkan
terwujudnya keadilan gender yang operasional? Rincian yang ada dalam Konvensi
Wanita menggambarkan bahwa perubahan sosial budaya dan ekonomi serta politik harus
terjadi dalam hampir semua bidang kehidupan dan kegiatan.
peraturan-peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan status perempuan dan keluarga
dalam masyarakat dengan menerbitkan UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang telah
memberikan kepada perempuan beberapa hak yang sama dengan laki-laki yakni samasama
menjadi subjek hukum, perempuan bisa memiliki dan menguasai harta benda
sendiri, membuat perjanjian karena mampu melakukan perbuatan hukum sendiri
(bekwaam), tidak dapat dipaksa kawin bahkan dapat mengajukan perceraian terhadap
suaminya, hak-hak mana tidak diakui dalam peraturan yang berlaku sebelumnya. Namun
demikian, UU ini mengandung kelemahan dan ada beberapa ambivalensinya, karena
dipihak lain menetapkan peran yang berbeda bagi laki-Iaki dan perempuan dimana lakilaki
di definisikan berperan di sektor publik (pencari nafkah) dan perempuan di sektor
privat/domestik (rumah tangga). Bahkan UU ini masih memungkinkan seorang suami
untuk beristeri lebih dari satu (Pasal 3 dan 4).
Perhatikan pula Pasal 41 UU Perkawinan mengenai putusnya perkawinan karena
perceraian. Tidak ada sanksi apabila ayah tidak memberikan biaya pemeliharaan dan
pendidikan bagi anak-anaknya. Itu berarti perempuan sering harus memikul beban
tanggungjawab itu, bila ibunya diberikan hak penguasaan anak. Dalam hal ini laki-laki dan
perempuan tidak dibedakan secara jelas seperti dalam Pasal 31 dan 34 UU Perkawinan,
tetapi kepentingan janda cerai dalam pemeliharaan anak tidak terjangkau oleh hukum.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang berlaku
mengenai perlindungan hukum pada perempuan terhadap tindak kekerasan, baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat. Walaupun pemerkosaan memang ditentukan
sebagai tindakan pidana dan ada sanksi hukumnya, tetapi ketentuan yang mengharuskan
adanya "bukti" mempersulit seorang perempuan untuk menyeret pelakunya ke
pengadilan, karena biasanya tidak ada saksi saat pemerkosaan terjadi dan membuktikan
pemerkosaan melalui visum et repertum dokter belum tentu berhasil bilamana peristiwa
sudah lama terjadi. Lagipula memaksa isteri untuk berhubungan badan belum diakui
sebagai "pemerkosa" (marital rape) menurut hukum. Dengan demikian KUHP belum
sepenuhnya menampung kepentingan perempuan atas perlindungan terhadap kekerasan
seksual karena peraturan-peraturan tersebut tidak memadai dan tepat guna.
Pengertian "kekerasan" dalam Pasal 89 KUHP mempunyai pengertian yang sempit
(meskipun dalam penjelasannya karangan R. Susilo Hal 84: mengurung seseorang dalam
ruang tertutup termasuk perbuatan kekerasan).
Bahwa kekerasan menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan (Majelis Umum PBB 1993) pengertiannya diperluas termasuk kekerasan
secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, di masyarakat dan
dilakukan serta dibenarkan oleh negara.
Penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351, 353, 354 bilamana dilakukan antara
lain terhadap ibu-nya, isterinya, hukumannya ditambah dengan 1/3-nya (pasaI 356
KUHP), namun oleh Penegak Hukum jarang di terapkan. Dalam hal ini peraturannya
memadai tetapi tergantung dari para pelaksana dan para Penegak Hukum, karena
bilamana tidak didakwakan oleh Jaksa maka Hakim tidak dapat memutuskan atas dasar pemberatan berdasarkan pasal tersebut. Dalam kondisi yang demikian para penegak
hukumlah yang belum sensitif gender.
Pengaturan tentang perdagangan perempuan dan eksploitasi anak dalam
KUHP hanya dimasukkan dalam kategori kejahatan terhadap kesopanan yang
maksimum hukumnya hanya 6 tahun. Di tinjau dari segi keadilan gender hukuman
tersebut tidak setimpal dengan pengorbanan, tidak dapat dirasakan adanya penderitaan
kehormatan dan martabat perempuan yang menjadi korban.
Pengaturan tentang Mucikari (Germo) dalam KUHP Pasal 506 termasuk
klasifikasi Pelanggaran Terhadap Ketertiban Umum dengan hukuman maksimum 3 bulan,
benar-benar dirasakan tidak memadai dibandingkan dengan tindak pidana yang
dilakukannya, kekejaman lahir maupun batin yang dilakukan terhadap korban, sebaliknya
besarnya keuntungan yang diterima oleh mucikari terhadap penderitaan korban.
Juga kejahatan susila seperti perkosaan pasal 285, pencabulan pada pasal 286,
287 ,289, dan 290 yang akhir-akhir ini marak baik dilakukan oleh keluarga maupun remaja
ataupun orang tua yang sangat memprihatinkan biasanya justru terjadi di Iingkungan
sendiri yang dilakukan terhadap korban, itupun hanya mendapatkan hukuman maksimum
12 th, 9 th. Kembali kepada para Penegak Hukum yang sebenarnya dapat menjerat
dengan pemberatan pasal 291 (bila dimungkinkan), tetapi karena adanya faktor Sumber
Daya Manusia, moral atau mungkin adanya KKN, maka pasal tersebut dihindari.
Dengan memperhatikan pasal-pasal dari bidang Hukum perdata maupun Pidana
tersebut diatas, amat sangat dirasakan adanya ketidakadilan gender, yang benar-benar
merugikan tidak saja fisik tapi terutama psikis selain juga martabat dan kehormatan
perempuan serta keluarganya.
Menyadari terdapatnya ketimpangan? keganjilan dan ketidakadilan gender
tersebut, sekarang Pemerintah sedang gigih berusaha untuk melakukan tindakan dengan
membentuk peraturan atau kebijakan yang non-diskriminasi, meningkatkan kesetaraan
gender menuju kepada keadilan gender.
BAB III
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
UNTUK MEWUJUDKAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
Diharapkan adanya komitmen bersama terhadap upaya mengatasi masalahmasalah
yang dihadapi perempuan dalam menghapuskan kendala-kendala yang
menghalangi terwujudnya Kesetaraan dan keadilan gender.
Perlu menyadari hal-hal apakah yang harus diubah untuk memungkinkan
terwujudnya keadilan gender yang operasional? Rincian yang ada dalam Konvensi
Wanita menggambarkan bahwa perubahan sosial budaya dan ekonomi serta politik harus
terjadi dalam hampir semua bidang kehidupan dan kegiatan.
Dalam mewujudkan keadilan gender diperlukan kebijakan pemerintah dengan
mengadakan pembaharuan hukum, perubahan dan pembentukan undang-undang yang
berperspektif gender.
A. HUKUM YANG BERPERSPEKTIF GENDER.
1. Arah Pemerintah di bidang Hukum yang tercantum dalam GBHN (TAP NO.
IV/MPR/1999) 1999-2004 adalah sebagai berikut:
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui
dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui
perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif,
termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi
melalui program legislasi.
2. Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan Nasional Tanggal 19 Desember 2000. Dalam pedoman
Instruksi Presiden tersebut diatur:
a. Maksud dari pengertian :
- Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk
mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan
program pembangunan nasional.
- Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung
jawab laki-Iaki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah
oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
- Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar
mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam
menikmati hasil pembangunan tersebut.
- Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki
dan perempuan.
- Analisa Gender adalah proses yang dibangun secara sistematik untuk
mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan
perempuan, akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya
pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang
mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor
lainnya seperti kelas sosial, ras dan suku bangsa.
b. Tujuan
Pengarusutamaan gender bertujuan terselenggaranya perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan
program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat. Berbangsa, dan bernegara.
c. Pengarusutamaan gender diinstruksikan kepada instansi dan lembaga
pemerintah ditingkat Pusat dan Daerah adalah instansi dan lembaga
pemerintah yang dipimpin oleh:
- Menteri,
- Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen,
- Pimpinan Kesekretariatan, Lembaga Tertinggi/tinggi Negara,
- Panglima Tentara Nasional lndonesia,
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia,
- Jaksa Agung Republik Indonesia,
- Gubernur, dan
- Bupati / Walikota.
3. Undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen dengan ketentuanketentuan
yang memperhatikan azas-azas non-diskriminasi dan lebih
menyetarakan gender :
a. Pasal 27 (1) - Azas non diskriminasi
b. Pasal 28 C - Hak untuk mengembangkan diri, meningkatkan kwalitas
hidup dan hak mendapatkan pendidikan.
- Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta
perlakuan adit dan layak dalam hubungan kerja.
c. Pasal 28 D (3) - Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
d. Pasal 28 G - Hak atas perlindungan pribadi keluarga.
Hak atas rasa aman.
Perlindungan dari ancaman ketakutan.
Hak jaminan sosial.
e. Pasal 38 H - Hak memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan keadilan.
Hak jaminan sosial.
d. Pasal 38 I - Hak perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif.
Hak perlindungan HAM
4. Diterbitkannya UU Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999
Mengatur hak-hak wanita dalam pasal 45 s/d 57.
mengadakan pembaharuan hukum, perubahan dan pembentukan undang-undang yang
berperspektif gender.
A. HUKUM YANG BERPERSPEKTIF GENDER.
1. Arah Pemerintah di bidang Hukum yang tercantum dalam GBHN (TAP NO.
IV/MPR/1999) 1999-2004 adalah sebagai berikut:
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui
dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui
perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif,
termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi
melalui program legislasi.
2. Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan Nasional Tanggal 19 Desember 2000. Dalam pedoman
Instruksi Presiden tersebut diatur:
a. Maksud dari pengertian :
- Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk
mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan
program pembangunan nasional.
- Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung
jawab laki-Iaki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah
oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
- Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar
mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam
menikmati hasil pembangunan tersebut.
- Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki
dan perempuan.
- Analisa Gender adalah proses yang dibangun secara sistematik untuk
mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan
perempuan, akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya
pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang
mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor
lainnya seperti kelas sosial, ras dan suku bangsa.
b. Tujuan
Pengarusutamaan gender bertujuan terselenggaranya perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan
program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat. Berbangsa, dan bernegara.
c. Pengarusutamaan gender diinstruksikan kepada instansi dan lembaga
pemerintah ditingkat Pusat dan Daerah adalah instansi dan lembaga
pemerintah yang dipimpin oleh:
- Menteri,
- Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen,
- Pimpinan Kesekretariatan, Lembaga Tertinggi/tinggi Negara,
- Panglima Tentara Nasional lndonesia,
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia,
- Jaksa Agung Republik Indonesia,
- Gubernur, dan
- Bupati / Walikota.
3. Undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen dengan ketentuanketentuan
yang memperhatikan azas-azas non-diskriminasi dan lebih
menyetarakan gender :
a. Pasal 27 (1) - Azas non diskriminasi
b. Pasal 28 C - Hak untuk mengembangkan diri, meningkatkan kwalitas
hidup dan hak mendapatkan pendidikan.
- Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta
perlakuan adit dan layak dalam hubungan kerja.
c. Pasal 28 D (3) - Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
d. Pasal 28 G - Hak atas perlindungan pribadi keluarga.
Hak atas rasa aman.
Perlindungan dari ancaman ketakutan.
Hak jaminan sosial.
e. Pasal 38 H - Hak memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan keadilan.
Hak jaminan sosial.
d. Pasal 38 I - Hak perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif.
Hak perlindungan HAM
4. Diterbitkannya UU Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999
Mengatur hak-hak wanita dalam pasal 45 s/d 57.
5. UU Pengadilan Hak Asasi Manusia No.26 Tahun 2000 dan Peraturan
Pemerintah No.2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Terhadap Korban
dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang berat.
6. Atas inisiatif DPR sudah terbentuk
- RUU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
- RUU Perlindungan Saksi dan Korban.
7. Sudah terbentuk Keputusan Presiden RI No.88 Tahun 2002 tentang Rencana
Aksi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak, dimana
ditentukan bahwa trafficking perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat
terhadap HAM.
Bahwa Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking)
Perempuan dan Anak (RAN P3A) dibentuk dengan maksud sebagai landasan dan
pedoman bagi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan penghapusan
perdagangan perempuan dan anak.
Adapun hakekat dan tujuan RAN-P3A adalah untuk :
a. Menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap
korban perdagangan (trafficking) orang, khususnya perempuan dan anak.
b. Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif
dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan atas
praktek-praktek perdagangan (trafficking) orang khususnya terhadap
perempuan dan anak.
c. Mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan perdagangan (trafficking)
orang khususnya terhadap perempuan dan anak.
8. Undang-undang RI. Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pasal 73 (1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah kediaman meliputi tempat kediaman
Penggugat, kecuali apabila Penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Tergugat.
Pasal 86 (1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh
kekuatan hukum tetap.
- Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda
terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada
putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu.
Pemerintah No.2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Terhadap Korban
dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang berat.
6. Atas inisiatif DPR sudah terbentuk
- RUU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
- RUU Perlindungan Saksi dan Korban.
7. Sudah terbentuk Keputusan Presiden RI No.88 Tahun 2002 tentang Rencana
Aksi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak, dimana
ditentukan bahwa trafficking perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat
terhadap HAM.
Bahwa Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking)
Perempuan dan Anak (RAN P3A) dibentuk dengan maksud sebagai landasan dan
pedoman bagi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan penghapusan
perdagangan perempuan dan anak.
Adapun hakekat dan tujuan RAN-P3A adalah untuk :
a. Menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap
korban perdagangan (trafficking) orang, khususnya perempuan dan anak.
b. Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif
dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan atas
praktek-praktek perdagangan (trafficking) orang khususnya terhadap
perempuan dan anak.
c. Mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan perdagangan (trafficking)
orang khususnya terhadap perempuan dan anak.
8. Undang-undang RI. Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pasal 73 (1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah kediaman meliputi tempat kediaman
Penggugat, kecuali apabila Penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Tergugat.
Pasal 86 (1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh
kekuatan hukum tetap.
- Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda
terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada
putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu.
9. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Pasal 53 (1) Seorang wanita yang hamil diluar nikah dapat dinikahkan dengan
pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anak.
Pasal 99 (b) Anak yang sah adalah anak hasil pembuahan suami istri yang sah
diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. (Pemikiran yang
amat maju mengenai pengaturan bayi tabung).
Pasal 105 : Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah ibunya (mutlak).
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz: diserahkan
kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaannya ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 171 (c) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.
Dari ketentuan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah tersebut,
merupakan fakta dan terjawab sudah bahwa konsistensi pemerintah masih tetap
berusaha melaksanakan dan menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuk
terhadap perempuan dan tetap berusaha mewujudkan prinsip-prinsip persamaan hak
bagi perempuan di bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya.
B. PERAN YURISPRUDENSI DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN DAN
KEADILAN GENDER.
Sistem Hukum Indonesia sudah mengatur persamaan kedudukan dalam Hukum,
perlakuan sama di depan hukum dan hak memperoleh keadilan.
UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 17 menyebutkan :
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta di adili melalui proses peradilan yang bebas
dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan
yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang
adil dan benar.
Pasal 53 (1) Seorang wanita yang hamil diluar nikah dapat dinikahkan dengan
pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anak.
Pasal 99 (b) Anak yang sah adalah anak hasil pembuahan suami istri yang sah
diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. (Pemikiran yang
amat maju mengenai pengaturan bayi tabung).
Pasal 105 : Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah ibunya (mutlak).
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz: diserahkan
kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaannya ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 171 (c) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.
Dari ketentuan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah tersebut,
merupakan fakta dan terjawab sudah bahwa konsistensi pemerintah masih tetap
berusaha melaksanakan dan menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuk
terhadap perempuan dan tetap berusaha mewujudkan prinsip-prinsip persamaan hak
bagi perempuan di bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya.
B. PERAN YURISPRUDENSI DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN DAN
KEADILAN GENDER.
Sistem Hukum Indonesia sudah mengatur persamaan kedudukan dalam Hukum,
perlakuan sama di depan hukum dan hak memperoleh keadilan.
UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 17 menyebutkan :
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta di adili melalui proses peradilan yang bebas
dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan
yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang
adil dan benar.
Didalam UUD 1945 hasil amandemen, pasal 28 H (2) menyebutkan;
Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan.
Pasal 28 I (2) :
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
Hakim dapat menciptakan hukum melalui putusan-putusannya berdasarkan Pasal 27
UU No.14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman:
"Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat" Dalam penjelasan
disebutkan bahwa masyarakat masih mengenal hukum tak tertulis, serta dalam
masa pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan perumus dan penggali dari
nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ketengahtengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim
dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Karenanya apabila hukum dan Undang-undang tidak jelas atau ada masalah
hukum yang belum diatur maka Hakim dapat menafsirkan melalui pasal 27 tersebut atau
dengan metoda penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum dan Hakim harus
mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat, kemajuan perkembangan tehnologi
yang dapat menyelesaikan masalah hukum dengan bijaksana dan adil.
Bahwa bukan hanya peraturan-peraturan perundang-undangan saja yang dapat
digunakan untuk memberdayakan perempuan, tetapi juga putusan-putusan Hakim yang
mempakan Yurisprudensi tetap adalah salah satu sumber hukum yang dapat
dipergunakan sebagai hukum terapan yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat dan pada
saatnya dapat menjadi Undang-undang.
Misalnya : Pengangkatan anak perempuan yang semula dilarang menurut Stb
1917 No. 129, tetapi dengan Putusan Hakim No.907/1963 P, tanggai 29 Mei 1963, telah
menjadi Yurisprudensi tetap karena diikuti oleh putusan-putusan Hakim yang lain dan
putusan tersebut dilaksanakan dan dipatuhi oleh masyarakat, dengan berlakunya UU
No.23 Tahun 2002 syarat-syarat tentang Pengangkatan Anak sudah menjadi peraturanperaturan
yang tercantum dalam pasal-pasal 39-41 dalam Undang-undang tersebut.
Dalam bidang Yudikatif, pendapat dan pertimbangan Mahkamah Agung yang
dituangkan demi keputusan-keputusan berupa Yurisprudensi nampak sangat
mempertimbangkan kesetaraan dan keadilan gender. pengaturannya :
1. Dalam KUHAP tidak tercantum larangan atas kehadiran seorang pendamping bagi
saksi korban pada waktu pemeriksaan di persidangan.
2. Menurut Ketentuan, Pemeriksaan terhadap Tindak Pidana Kesusilaan harus
dilakukan dalam sidang tertutup dengan ancaman batal demi hukum pasal 153 (3)
KUHAP.
3. Beberapa pengalaman pemeriksaan di persidangan :
• Bagi saksi korban kekerasan seksual yang masih dibawah umur biasanya
selalu didampingi oleh orang tua/walinya atau orang tua asuhnya, dan Hakim
akan mendengar keterangan korban secara kekeluargaan di ruang terpisah,
karena baik berdasarkan Undang-Undang maupun secara kejiwaan anak tidak
dibenarkan didengar keterangannya sebagai saksi di persidangan.
• Bagi saksi korban kekerasan seksual dewasa tidak pula ada larangan bila
akandidampingi oleh seorang Pendamping karena fungsi pendamping di
persidangan khusus hanya untuk mendampingi saja, agar saksi korban lebih
terjamin rasa aman dan tenteram dari segi kejiwaannya.
Untuk tidak dilupakan bagi seorang perempuan korban kekerasan terutama
kekerasan seksual telah mengalami kegoncangan jiwa dan tekanan batin yang
amat sangat dan trauma yang memerlukan kesembuhan dalam waktu yang lama
dan korban masih harus memikirkan biaya yang harus dipikulnya "sendiri", karena
belum adanya peraturan yang melindungi saksi korban juga tentang belum adanya
peraturan yang mengatur ganti rugi dan atas penderitaannya.
Penderitaan seseorang yang menjadi korban kekerasan/ kejahatan/ perlakuan
salah tidak berhenti pada saat selesainya kejahatan dilakukan. Bukan saja
korban harus berusaha sendiri untuk menyembuhkan lukanya (baik fisik maupun
psikologis) dengan biaya sendiri pula dan harus menggantikan barang-barang yang
rusak/hilang karena kejahatan tersebut, akan tetapi ia harus pula menyediakan
waktu dana dan upaya untuk turut berperan dalam proses peradilan pidana
terhadap kasus yang menimpa dirinya.
Sehingga menurut hemat saya, tidak ada alasan untuk melarang pendamping
saksi dan korban menghadap persidangan, dalam menyandang tugasnya (hal
Ini pernah dilaporkan secara lisan kepada Mahkamah Agung/TUADA Pidum
Mahkamah Agung RI yang dapat membenarkan hadirnya pendamping saksi dan
korban dipersidangan - September 1999).
* Meskipun sidang Tindak Pidana Kesusilaan bersifat tertutup untuk umum,
Hakim dapat memberikan izin kepada orang yang sangat berkepentingan untuk
hadir dalam persidangan tertutup tersebut, misalnya:
- Orang Tua korban
- Pendamping
- Peneliti Ilmiah / Ilmuwan
Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan.
Pasal 28 I (2) :
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
Hakim dapat menciptakan hukum melalui putusan-putusannya berdasarkan Pasal 27
UU No.14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman:
"Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat" Dalam penjelasan
disebutkan bahwa masyarakat masih mengenal hukum tak tertulis, serta dalam
masa pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan perumus dan penggali dari
nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ketengahtengah
masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim
dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Karenanya apabila hukum dan Undang-undang tidak jelas atau ada masalah
hukum yang belum diatur maka Hakim dapat menafsirkan melalui pasal 27 tersebut atau
dengan metoda penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum dan Hakim harus
mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat, kemajuan perkembangan tehnologi
yang dapat menyelesaikan masalah hukum dengan bijaksana dan adil.
Bahwa bukan hanya peraturan-peraturan perundang-undangan saja yang dapat
digunakan untuk memberdayakan perempuan, tetapi juga putusan-putusan Hakim yang
mempakan Yurisprudensi tetap adalah salah satu sumber hukum yang dapat
dipergunakan sebagai hukum terapan yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat dan pada
saatnya dapat menjadi Undang-undang.
Misalnya : Pengangkatan anak perempuan yang semula dilarang menurut Stb
1917 No. 129, tetapi dengan Putusan Hakim No.907/1963 P, tanggai 29 Mei 1963, telah
menjadi Yurisprudensi tetap karena diikuti oleh putusan-putusan Hakim yang lain dan
putusan tersebut dilaksanakan dan dipatuhi oleh masyarakat, dengan berlakunya UU
No.23 Tahun 2002 syarat-syarat tentang Pengangkatan Anak sudah menjadi peraturanperaturan
yang tercantum dalam pasal-pasal 39-41 dalam Undang-undang tersebut.
Dalam bidang Yudikatif, pendapat dan pertimbangan Mahkamah Agung yang
dituangkan demi keputusan-keputusan berupa Yurisprudensi nampak sangat
mempertimbangkan kesetaraan dan keadilan gender. pengaturannya :
1. Dalam KUHAP tidak tercantum larangan atas kehadiran seorang pendamping bagi
saksi korban pada waktu pemeriksaan di persidangan.
2. Menurut Ketentuan, Pemeriksaan terhadap Tindak Pidana Kesusilaan harus
dilakukan dalam sidang tertutup dengan ancaman batal demi hukum pasal 153 (3)
KUHAP.
3. Beberapa pengalaman pemeriksaan di persidangan :
• Bagi saksi korban kekerasan seksual yang masih dibawah umur biasanya
selalu didampingi oleh orang tua/walinya atau orang tua asuhnya, dan Hakim
akan mendengar keterangan korban secara kekeluargaan di ruang terpisah,
karena baik berdasarkan Undang-Undang maupun secara kejiwaan anak tidak
dibenarkan didengar keterangannya sebagai saksi di persidangan.
• Bagi saksi korban kekerasan seksual dewasa tidak pula ada larangan bila
akandidampingi oleh seorang Pendamping karena fungsi pendamping di
persidangan khusus hanya untuk mendampingi saja, agar saksi korban lebih
terjamin rasa aman dan tenteram dari segi kejiwaannya.
Untuk tidak dilupakan bagi seorang perempuan korban kekerasan terutama
kekerasan seksual telah mengalami kegoncangan jiwa dan tekanan batin yang
amat sangat dan trauma yang memerlukan kesembuhan dalam waktu yang lama
dan korban masih harus memikirkan biaya yang harus dipikulnya "sendiri", karena
belum adanya peraturan yang melindungi saksi korban juga tentang belum adanya
peraturan yang mengatur ganti rugi dan atas penderitaannya.
Penderitaan seseorang yang menjadi korban kekerasan/ kejahatan/ perlakuan
salah tidak berhenti pada saat selesainya kejahatan dilakukan. Bukan saja
korban harus berusaha sendiri untuk menyembuhkan lukanya (baik fisik maupun
psikologis) dengan biaya sendiri pula dan harus menggantikan barang-barang yang
rusak/hilang karena kejahatan tersebut, akan tetapi ia harus pula menyediakan
waktu dana dan upaya untuk turut berperan dalam proses peradilan pidana
terhadap kasus yang menimpa dirinya.
Sehingga menurut hemat saya, tidak ada alasan untuk melarang pendamping
saksi dan korban menghadap persidangan, dalam menyandang tugasnya (hal
Ini pernah dilaporkan secara lisan kepada Mahkamah Agung/TUADA Pidum
Mahkamah Agung RI yang dapat membenarkan hadirnya pendamping saksi dan
korban dipersidangan - September 1999).
* Meskipun sidang Tindak Pidana Kesusilaan bersifat tertutup untuk umum,
Hakim dapat memberikan izin kepada orang yang sangat berkepentingan untuk
hadir dalam persidangan tertutup tersebut, misalnya:
- Orang Tua korban
- Pendamping
- Peneliti Ilmiah / Ilmuwan
Mahasiswa untuk membuat skripsi
- Saksi ahli / Dokter / Spesialis
- Rohaniawan
Ternyata putusan-putusan Hakim yang dalam proses persidangan dengan
menghadirkan pendamping bagi saksi tidak pernah dibatalkan oleb Mahkamah Agung,
dengan demikian putusan Hakim yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat dapat diterima
sebagai Yurisprudensi.
Beberapa Yurisprudensi tetap yang merupakan Putusan Hakim yang berkeadilan
gender :
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
A. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3l91K/Pdt/1984, Jo putusan Pengadilan
Tinggi Nusa Tenggara Barat di Mataram Nomor 65/pdt/1984/PT.NTB Jo Putusan
Pengadilan Negeri Nomor 073/PN. Mtr/Pdt/1983 tentang Perbuatan Melawan
Hukum.
Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI 1987 Bahwa dengan tidak
terpenuhinya janji Tergugat asal (pria) untuk mengawini Penggugat asal
(wanita) telah melanggar norma kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat
serta perbuatan Tergugat asal/merupakan perbuatan melawan hukum sehingga
menimbulkan kerugian terhadap diri penggugat asal, maka tergugat asal wajib
membayar kerugian.
B. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 30-6-1971 No.415 K/Sip/1970, Jo Putusan
Pengadilan Tinggi Medan No.327/1968, Jo Putusan Pengadilan Negeri
Padangsidempuan No.47/1966 Pdt.Ps.
- Menurut Hukum Adat, "Pembaean" (penyeraban tanpa melepaskan hak
milik) harus dianggap sebagai usaba untuk memperlunak Hukum Adat
dimasa sebelum perang Dunia ke II, dimana seorang anak perempuan
mempunyai hak waris. Hukum adat didaerah Tapanuli juga telah
berkembang kearah hak yang sama kepada anak perempuan seperti anak
lelaki, perkembangan dimana sudah diperkuat pula dengan suatu
yurisprudensi tetap mengenai hukum waris di daerah.
C. Putusan Mahkamah Agung RI Tanggal 9 Februari 1978 No. :435/Kr/1979, Jo
Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 30 Januari 1974
No.223/PTD/1968/Perdata, Jo Putusan Pengadilan Negeri Mataram tanggal 4 Mei
1968 No.42/r968/PN/Perdata.
- Sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung terhadap anak perempuan
di Tapanuli, juga di Lombok adanya anak perempuan dijadikan ahli waris,
sehingga dalam perkara ini penggugat untuk kasasi sebagai satu-satunya
anak, mewarisi seluruh harta peninggalan dari bapaknya.
D. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 November 1976 No. 284 K/Sip/ 1975, Jo
Putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 8 Februari 1973 No. 98/Perd/21/PT.Mdn., Jo Putusan Pengadilan Negeri Tingkat I Pematang Siantar
tanggal 29 September 1970 No. 197/1970/Perd.
- Menurut Hukum Adat waris baru, isteri dari anak-anak perempuan adalah ahli
waris.
E. Putusan Mahkamah Agung RI No. 3190 K/Pdt/1985, Jo Putusan Pengadilan Tinggi
Surabaya tanggal 9 Januari 1985 No.6371984, Jo Putusan Pengadilan Negeri
Kediri tanggal 22 0ktober 1983 No. 38/1983/G.
- “Seorang janda tanpa keturunan anak telah digugat di Pengadilan oleh
saudara-saudara kandung dari almarhum suaminya atas harta peninggalan
Almarhum suaminya yang saat ini dikuasai oleh janda tersebut. Saudara
kandung Almarhum suaminya menuntut agar harta peninggalan tersebut dibagi
waris antara janda disatu pihak dan saudara kandung Almarhum suaminya di
lain pihak. Harta peninggaian tersebut terdiri dari harta asal dan harta
pencaharian”.
- Dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung telah membatalkan Putusan Judex
Facti yang dinilai telah salah dalam menerapkan hukum. Putusan ini didasari
oleh pertimbangan yuridis yang pada intinya sebagai berikut:
• Bahwa sesuai dengan yurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung RI telah
ditetapkan bahwa janda adalah ahli waris Almarhum suaminya yang
kedudukannya sejajar dengan ahli waris anak-anak. Karena itu janda
merupakan ahli waris dan kelompok keutamaan bersama-sama dengan
anak-anaknya.
• Bahwa hal tersebut membawa konsekuensi, yaitu :
o Bila janda ini tidak mempunyai keturunan, maka janda akan menutup ke
ahli warisan kelompok penggantinya, yaitu saudara Almarhum suaminya.
o Janda, karena itu berhak mewarisi seluruh harta peninggalan Almarhum
suaminya, baik harta pencaharian maupun harta asal.
E. Putusan Mahkamah Agung RI No.2216 K/Pdt/1999 Jo Putusan PT. Tanjungkarang
No.20/Pdt/1998/PT.TK, Jo Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang No.
50/Pdt.G/1997/PN.TK.
- Antara Penggugat (istri) dan Tergugat (suami) telah terjadi perceraian.
Penggugat mengajukan gugatan pembagian harta gono gini berupa 2 buah
Ruko, 2 buah mobil yang selama ini dikuasai oleh Tergugat, karena Penggugat
menderita tekanan batin yang dalam hingga dirawat di Rumah Sakit Jiwa, oleh
Pengadilan Negeri dikabulkan tetapi menolak permohonan Sita jaminannya.
Sementara itu Tergugat tanpa hak telah menghibahkan 1 buah Ruko kepada 2
anak perempuan hasil perkawinanya dan Tergugat kawin Iagi dengan
perempuan lain serta tinggal dirumah yang diperoleh Penggugat dan Tergugat
sebagai harta bersama.
- Bahwa Penggugat pernah menanda tangani surat perjanjian, bahwa, setelah
menerima Rp. 10.000.000,- sebagai perhitungan pembayaran harta campur dan biaya tunjangan hidup anak, karenanya Penggugat tidak lagi berhak atas harta
campur.
- Pengadilan Tinggi Tanjungkarang dengan Putusan Sela No.20/Pdt/1998/PT.
TK., memerintahkan Pengadilan Negeri Tanjungkarang meletakkan "Sita harta
bersama" atas seluruh harta gono gini yang belum dibagi, yang seharusnya 1/2
bagiannya adalah menjadi hak Penggugat berdasarkan pasal 35 (1) Undang-
Undang No.1 tahun 1974 dan dalam putusan akhir; membatalkan surat
perjanjian yang bertentangan dengan Undang-Undang, berlawanan dengan
kesusilaan dan ketertiban hukum pasal 1337 BW., dan Undang-Undang No. 1
tahun 1974 pasal 35 ayat (1), dan menyatakan hibah dimaksud batal demi
hukum pasal 1335 BW, Jo pasal 1337 BW., dan pasal 36 ayat (1) Undang-
Undang No. 1 tahun 1974, menghukum Tergugat menyerahkan 1/2 bagian dari
harta bersama tersebut.
- Mahkamah Agung RI menyatakan permohonan Kasasi tidak dapat diterima.
F. Putusan Mahkamah Agung RI No. 368.K/AG/1995 tanggal 16Juli 1998 Jo Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta No. 14/Pdt.G/1994/PTA Jo Putusan Pengadilan
Agama Jakarta Pusat No. 377/Pdt/1993/PAJP.
- Putusan tersebut diperbaiki oleh Mahkamah Agung bahwa Anak kandung
perempuan yang bukan beragama Islam status hukumya bukan ahli waris,
namun ia berhak mendapatkan bagian dari harta warisan dari kedua orang
tuanya berdasarkan WASIAT WAJIBAH dengan kadar bagian yang sama
dengan bagian anak perempuan ahli waris Almarhum Ayah dan Ibunya yang
beragama Islam.
H. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 23 Februari 1985 No.666 K/Pid/1984, Jo
Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu tanggal 9 April 1984 No.
6/Pjd/1984/PT.Patu, Jo Putusan Pengadilan Negeri Luwuk No.27/Pjd/1983.
“Terdakwa, pemuda 30 tahun, telah menjalin hubungan cinta dengan gadis (24
tahun). Pemuda ini berjanji pada gadis bahwa dia akan mengawininya. Dalam
hubungan cinta yang makin mesra, si pemuda (terdakwa) telah berhasil
menyetubuhi si gadis berulang kali, sehingga si gadis menjadi hamil karenanya.
Terdakwa dengan dalih bahwa antara mereka berlainan agama, menolak
mengawini gadis tersebut. Si gadis bersedia beralih agama asal pemuda tersebut
bersedia mengawininya sesuai janjinya semula. Pemuda tersebut menolak.
Kemudian ternyata bahwa pemuda tersebut telah mengawini gadis lainnya. Gadis
pertama ditinggaikan dalam keadaan hamil.”
- Di dalam Putusan Kasasinya berpendirian bahwa Judex Facil tidak salah
menerapkan hukum, hanya kurang tepat merumuskan kualifikasinya, sehingga
amar Putusan Judex Pacti harus diperbaiki oleh Mahkamah Agung, yaitu :
Terdakwa terbukti bersalah melakukan TlNDAK PIDANA ADAT : "ZINAH".
I. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 19 Juli 1990 No.661 K/Pid/1988, Jo Putusan
Pengadilan Negeri di Baturaja, Sumatera Selatan tanggal 30 Desember 1987
No.190/Pid/B/1987/PN .BTA.
- Saksi ahli / Dokter / Spesialis
- Rohaniawan
Ternyata putusan-putusan Hakim yang dalam proses persidangan dengan
menghadirkan pendamping bagi saksi tidak pernah dibatalkan oleb Mahkamah Agung,
dengan demikian putusan Hakim yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat dapat diterima
sebagai Yurisprudensi.
Beberapa Yurisprudensi tetap yang merupakan Putusan Hakim yang berkeadilan
gender :
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
A. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3l91K/Pdt/1984, Jo putusan Pengadilan
Tinggi Nusa Tenggara Barat di Mataram Nomor 65/pdt/1984/PT.NTB Jo Putusan
Pengadilan Negeri Nomor 073/PN. Mtr/Pdt/1983 tentang Perbuatan Melawan
Hukum.
Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI 1987 Bahwa dengan tidak
terpenuhinya janji Tergugat asal (pria) untuk mengawini Penggugat asal
(wanita) telah melanggar norma kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat
serta perbuatan Tergugat asal/merupakan perbuatan melawan hukum sehingga
menimbulkan kerugian terhadap diri penggugat asal, maka tergugat asal wajib
membayar kerugian.
B. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 30-6-1971 No.415 K/Sip/1970, Jo Putusan
Pengadilan Tinggi Medan No.327/1968, Jo Putusan Pengadilan Negeri
Padangsidempuan No.47/1966 Pdt.Ps.
- Menurut Hukum Adat, "Pembaean" (penyeraban tanpa melepaskan hak
milik) harus dianggap sebagai usaba untuk memperlunak Hukum Adat
dimasa sebelum perang Dunia ke II, dimana seorang anak perempuan
mempunyai hak waris. Hukum adat didaerah Tapanuli juga telah
berkembang kearah hak yang sama kepada anak perempuan seperti anak
lelaki, perkembangan dimana sudah diperkuat pula dengan suatu
yurisprudensi tetap mengenai hukum waris di daerah.
C. Putusan Mahkamah Agung RI Tanggal 9 Februari 1978 No. :435/Kr/1979, Jo
Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 30 Januari 1974
No.223/PTD/1968/Perdata, Jo Putusan Pengadilan Negeri Mataram tanggal 4 Mei
1968 No.42/r968/PN/Perdata.
- Sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung terhadap anak perempuan
di Tapanuli, juga di Lombok adanya anak perempuan dijadikan ahli waris,
sehingga dalam perkara ini penggugat untuk kasasi sebagai satu-satunya
anak, mewarisi seluruh harta peninggalan dari bapaknya.
D. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 November 1976 No. 284 K/Sip/ 1975, Jo
Putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 8 Februari 1973 No. 98/Perd/21/PT.Mdn., Jo Putusan Pengadilan Negeri Tingkat I Pematang Siantar
tanggal 29 September 1970 No. 197/1970/Perd.
- Menurut Hukum Adat waris baru, isteri dari anak-anak perempuan adalah ahli
waris.
E. Putusan Mahkamah Agung RI No. 3190 K/Pdt/1985, Jo Putusan Pengadilan Tinggi
Surabaya tanggal 9 Januari 1985 No.6371984, Jo Putusan Pengadilan Negeri
Kediri tanggal 22 0ktober 1983 No. 38/1983/G.
- “Seorang janda tanpa keturunan anak telah digugat di Pengadilan oleh
saudara-saudara kandung dari almarhum suaminya atas harta peninggalan
Almarhum suaminya yang saat ini dikuasai oleh janda tersebut. Saudara
kandung Almarhum suaminya menuntut agar harta peninggalan tersebut dibagi
waris antara janda disatu pihak dan saudara kandung Almarhum suaminya di
lain pihak. Harta peninggaian tersebut terdiri dari harta asal dan harta
pencaharian”.
- Dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung telah membatalkan Putusan Judex
Facti yang dinilai telah salah dalam menerapkan hukum. Putusan ini didasari
oleh pertimbangan yuridis yang pada intinya sebagai berikut:
• Bahwa sesuai dengan yurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung RI telah
ditetapkan bahwa janda adalah ahli waris Almarhum suaminya yang
kedudukannya sejajar dengan ahli waris anak-anak. Karena itu janda
merupakan ahli waris dan kelompok keutamaan bersama-sama dengan
anak-anaknya.
• Bahwa hal tersebut membawa konsekuensi, yaitu :
o Bila janda ini tidak mempunyai keturunan, maka janda akan menutup ke
ahli warisan kelompok penggantinya, yaitu saudara Almarhum suaminya.
o Janda, karena itu berhak mewarisi seluruh harta peninggalan Almarhum
suaminya, baik harta pencaharian maupun harta asal.
E. Putusan Mahkamah Agung RI No.2216 K/Pdt/1999 Jo Putusan PT. Tanjungkarang
No.20/Pdt/1998/PT.TK, Jo Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang No.
50/Pdt.G/1997/PN.TK.
- Antara Penggugat (istri) dan Tergugat (suami) telah terjadi perceraian.
Penggugat mengajukan gugatan pembagian harta gono gini berupa 2 buah
Ruko, 2 buah mobil yang selama ini dikuasai oleh Tergugat, karena Penggugat
menderita tekanan batin yang dalam hingga dirawat di Rumah Sakit Jiwa, oleh
Pengadilan Negeri dikabulkan tetapi menolak permohonan Sita jaminannya.
Sementara itu Tergugat tanpa hak telah menghibahkan 1 buah Ruko kepada 2
anak perempuan hasil perkawinanya dan Tergugat kawin Iagi dengan
perempuan lain serta tinggal dirumah yang diperoleh Penggugat dan Tergugat
sebagai harta bersama.
- Bahwa Penggugat pernah menanda tangani surat perjanjian, bahwa, setelah
menerima Rp. 10.000.000,- sebagai perhitungan pembayaran harta campur dan biaya tunjangan hidup anak, karenanya Penggugat tidak lagi berhak atas harta
campur.
- Pengadilan Tinggi Tanjungkarang dengan Putusan Sela No.20/Pdt/1998/PT.
TK., memerintahkan Pengadilan Negeri Tanjungkarang meletakkan "Sita harta
bersama" atas seluruh harta gono gini yang belum dibagi, yang seharusnya 1/2
bagiannya adalah menjadi hak Penggugat berdasarkan pasal 35 (1) Undang-
Undang No.1 tahun 1974 dan dalam putusan akhir; membatalkan surat
perjanjian yang bertentangan dengan Undang-Undang, berlawanan dengan
kesusilaan dan ketertiban hukum pasal 1337 BW., dan Undang-Undang No. 1
tahun 1974 pasal 35 ayat (1), dan menyatakan hibah dimaksud batal demi
hukum pasal 1335 BW, Jo pasal 1337 BW., dan pasal 36 ayat (1) Undang-
Undang No. 1 tahun 1974, menghukum Tergugat menyerahkan 1/2 bagian dari
harta bersama tersebut.
- Mahkamah Agung RI menyatakan permohonan Kasasi tidak dapat diterima.
F. Putusan Mahkamah Agung RI No. 368.K/AG/1995 tanggal 16Juli 1998 Jo Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta No. 14/Pdt.G/1994/PTA Jo Putusan Pengadilan
Agama Jakarta Pusat No. 377/Pdt/1993/PAJP.
- Putusan tersebut diperbaiki oleh Mahkamah Agung bahwa Anak kandung
perempuan yang bukan beragama Islam status hukumya bukan ahli waris,
namun ia berhak mendapatkan bagian dari harta warisan dari kedua orang
tuanya berdasarkan WASIAT WAJIBAH dengan kadar bagian yang sama
dengan bagian anak perempuan ahli waris Almarhum Ayah dan Ibunya yang
beragama Islam.
H. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 23 Februari 1985 No.666 K/Pid/1984, Jo
Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu tanggal 9 April 1984 No.
6/Pjd/1984/PT.Patu, Jo Putusan Pengadilan Negeri Luwuk No.27/Pjd/1983.
“Terdakwa, pemuda 30 tahun, telah menjalin hubungan cinta dengan gadis (24
tahun). Pemuda ini berjanji pada gadis bahwa dia akan mengawininya. Dalam
hubungan cinta yang makin mesra, si pemuda (terdakwa) telah berhasil
menyetubuhi si gadis berulang kali, sehingga si gadis menjadi hamil karenanya.
Terdakwa dengan dalih bahwa antara mereka berlainan agama, menolak
mengawini gadis tersebut. Si gadis bersedia beralih agama asal pemuda tersebut
bersedia mengawininya sesuai janjinya semula. Pemuda tersebut menolak.
Kemudian ternyata bahwa pemuda tersebut telah mengawini gadis lainnya. Gadis
pertama ditinggaikan dalam keadaan hamil.”
- Di dalam Putusan Kasasinya berpendirian bahwa Judex Facil tidak salah
menerapkan hukum, hanya kurang tepat merumuskan kualifikasinya, sehingga
amar Putusan Judex Pacti harus diperbaiki oleh Mahkamah Agung, yaitu :
Terdakwa terbukti bersalah melakukan TlNDAK PIDANA ADAT : "ZINAH".
I. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 19 Juli 1990 No.661 K/Pid/1988, Jo Putusan
Pengadilan Negeri di Baturaja, Sumatera Selatan tanggal 30 Desember 1987
No.190/Pid/B/1987/PN .BTA.
- Dari Putusan Mahkamah Agung tersebut diatas, maka kita dapat mengangkat
diri darinya "Abstrak Hukum" sebagai berikut:
Bahwa keterangan Saksi "dibawah sumpah" yang diberikannya dihadapan
Penyidik Kepolisian (karena saksi ini nantinya tidak akan dapat hadir di
sidang Pengadilan) dan oleh Penyidik keterangan saksi dibawah sumpah
itu, kemudian dituangkan dalam "Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan".
Bilamana keterangan saksi inidibacakan didalam sidang Pengadilan, maka
keterangan saksi tersebut, "disamakan nilainya" dengan keterangan saksi
dibawah sumpah yang diberikan di dalam Persidangan Pengadilan. Karena
itu adalah sah sebagai alat bukti menurut Undang-undang (KUHAP).
Yurisprudensi tersebut dapat di pergunakan untuk memberdayakan perempuan
terutama untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan gender. Selanjutnya hal ini
tergantung sepenuhnya pada pelaksanaan penetapan dan penegakan hukum baik oleh
para aparat Penegak Hukum maupun oleh masyarakat, aparat penyelenggara negara
termasuk kaum perempuan sendiri.
diri darinya "Abstrak Hukum" sebagai berikut:
Bahwa keterangan Saksi "dibawah sumpah" yang diberikannya dihadapan
Penyidik Kepolisian (karena saksi ini nantinya tidak akan dapat hadir di
sidang Pengadilan) dan oleh Penyidik keterangan saksi dibawah sumpah
itu, kemudian dituangkan dalam "Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan".
Bilamana keterangan saksi inidibacakan didalam sidang Pengadilan, maka
keterangan saksi tersebut, "disamakan nilainya" dengan keterangan saksi
dibawah sumpah yang diberikan di dalam Persidangan Pengadilan. Karena
itu adalah sah sebagai alat bukti menurut Undang-undang (KUHAP).
Yurisprudensi tersebut dapat di pergunakan untuk memberdayakan perempuan
terutama untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan gender. Selanjutnya hal ini
tergantung sepenuhnya pada pelaksanaan penetapan dan penegakan hukum baik oleh
para aparat Penegak Hukum maupun oleh masyarakat, aparat penyelenggara negara
termasuk kaum perempuan sendiri.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Budaya dan ideologi patriarki, baik di dunia Barat maupun Timur masih sangat
mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat yang menciptakan
ketimpangan dan ketidakadilan gender, hubungan dalam keluarga, tehnologi,
kewarisan, ekonomi dan masih banyak bidang lainnya.
2. Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita sudah diratifikasi
dengan Undang-undang No.7 tahun 1984, sehingga menurut kenyataan Konvensi
tersebut sudah berusia 19 tahun.
3. Bahwa Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dibentuk 10 tahun sebelum
Indonesia meratifikasi Konvensi Wanita tersebut, karenanya meskipun oleh
Pemerintah telah diatur tentang adanya azas kesetaraan antara suami-isteri dalam
perkawinan dan isteri dapat melakukan perbuatan hukum sendiri (bekwaam). Undangundang
ini adalah merupakan pembaharuan dari peraturan-peraturan zaman kolonial
yang sangat diskriminatif.
4. Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip yang dianut
Konvensi Wanita yaitu prinsip persamaan substantif, non diskriminasi dan prinsip
kewajiban negara dengan mengharmonisasikannya ke dalam hukum nasional sesuai
dengan azas kesetaraan dan keadilan gender.
5. Perubahan sosial menuju ke mitra sejajaran gender di awali dengan proses
industrialisasi dan kemajuan tehnologi informasi dengan fenomena meningkatnya
jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah. Melalui pengarahan pemerintah
diharapkan perempuan akan lebih banyak berpartisipasi dalam pembangunan dengan
tujuan utama memberdayakan perempuan tidak saja untuk masa kini tetapi juga untuk
masa mendatang agar supaya dapat berperan serta aktif dan mengefektifitaskan
dalam pembangunan yang berkelanjutan.
6. Hukum positif yang sekarang berlaku masih banyak tertinggal karena merupakan
warisan zaman kolonial yang tidak berkesetaraan gender di mana terdapat banyak
kejanggalan-kejanggalan yang bersifat diskriminatif dan tidak berkesetaraan gender
sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan perempuan secara tepat
guna.
7. Penerapan dan penegakan hukum belum sepenuhnya di laksanakan secara benar
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, karena peraturan perundangundangan
masih banyak yang rancu dan amat terkotak-kotak serta saling tumpang
tindih;
8. Peran yurisprudensi yang sudah mempertimbangkan kesetaraan dan keadilan gender
kurang disosialisasikan sehingga pemanfaatan bagi pemberdayaan perempuan belum
dapat dilaksanakan secara optimal-dalam pembangunan berkesinambungan.
A. KESIMPULAN
1. Budaya dan ideologi patriarki, baik di dunia Barat maupun Timur masih sangat
mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat yang menciptakan
ketimpangan dan ketidakadilan gender, hubungan dalam keluarga, tehnologi,
kewarisan, ekonomi dan masih banyak bidang lainnya.
2. Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita sudah diratifikasi
dengan Undang-undang No.7 tahun 1984, sehingga menurut kenyataan Konvensi
tersebut sudah berusia 19 tahun.
3. Bahwa Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dibentuk 10 tahun sebelum
Indonesia meratifikasi Konvensi Wanita tersebut, karenanya meskipun oleh
Pemerintah telah diatur tentang adanya azas kesetaraan antara suami-isteri dalam
perkawinan dan isteri dapat melakukan perbuatan hukum sendiri (bekwaam). Undangundang
ini adalah merupakan pembaharuan dari peraturan-peraturan zaman kolonial
yang sangat diskriminatif.
4. Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip yang dianut
Konvensi Wanita yaitu prinsip persamaan substantif, non diskriminasi dan prinsip
kewajiban negara dengan mengharmonisasikannya ke dalam hukum nasional sesuai
dengan azas kesetaraan dan keadilan gender.
5. Perubahan sosial menuju ke mitra sejajaran gender di awali dengan proses
industrialisasi dan kemajuan tehnologi informasi dengan fenomena meningkatnya
jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah. Melalui pengarahan pemerintah
diharapkan perempuan akan lebih banyak berpartisipasi dalam pembangunan dengan
tujuan utama memberdayakan perempuan tidak saja untuk masa kini tetapi juga untuk
masa mendatang agar supaya dapat berperan serta aktif dan mengefektifitaskan
dalam pembangunan yang berkelanjutan.
6. Hukum positif yang sekarang berlaku masih banyak tertinggal karena merupakan
warisan zaman kolonial yang tidak berkesetaraan gender di mana terdapat banyak
kejanggalan-kejanggalan yang bersifat diskriminatif dan tidak berkesetaraan gender
sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan perempuan secara tepat
guna.
7. Penerapan dan penegakan hukum belum sepenuhnya di laksanakan secara benar
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, karena peraturan perundangundangan
masih banyak yang rancu dan amat terkotak-kotak serta saling tumpang
tindih;
8. Peran yurisprudensi yang sudah mempertimbangkan kesetaraan dan keadilan gender
kurang disosialisasikan sehingga pemanfaatan bagi pemberdayaan perempuan belum
dapat dilaksanakan secara optimal-dalam pembangunan berkesinambungan.
B. SARAN
1. Diperlukan pembaharuan hukum dibidang Perdata antara lain; Hukum Acara Perdata,
Hukum Perkawinan, Hukum Waris maupun Hukum Pidana (pengertian tindak
kekerasan. pengaturan tindak pidana kesusilaan, perdagangan perempuan dan anak
sesuai dengan arah kebijaksanaan negara melalui program legislasi dengan
menuntaskan Rancangan Undang-undang menjadi Undang-undang yaitu:
a. Rancangan Undang-undang tentang KUHP yang disempurnakan.
b. Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
c. Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
d. Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Perdagangan (trafficking)
Perempuan dan Anak.
e. Rancangan Undang-undang tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar
negeri.
f. Rancangan Undang-undang tentang Anti Diskriminasi Suku, Agama dan Ras.
2. Untuk keberhasilan dan pembangunan berkelanjutan mengenai kemitrasejajaran
gender, hendaknya pemerintah dapat menegakkan hukum secara konsisten untuk
lebih menjamin kepastian hukum, mengembangkan peraturan-peraturan agar
pemberdayaan perempuan dapat dilaksanakan untuk meningkatkan kwalitas hidup.
kesejahteraan kehidupan keluargadan masyarakat.
3. Melaksanakan sepenuhnya Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
4. Agar supaya menyempurnakan sistem peradilan pidana untuk mewujudkan Integrated
Criminal Justice System.
5. Menggalakkan sosialisasi peran yurisprudensi untuk lebih dapat dimanfaatkan bagi
pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan
masyarakat dalam pembangunan yang berkesinambungan.
6. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan kaum perempuan dengan sistem
pendidikan biaya ringan, bila dimungkinkan dengan pemberian bea stswa.
7. Penerapan dan Penegakan Hukum serta budaya hukum dilaksanakan secara
konsekwen dengan kesadaran yang tinggi dari masyarakat dan kaum perempuan
termasuk para aparat penegak hukum serta aparat penyelenggara negara.
1. Diperlukan pembaharuan hukum dibidang Perdata antara lain; Hukum Acara Perdata,
Hukum Perkawinan, Hukum Waris maupun Hukum Pidana (pengertian tindak
kekerasan. pengaturan tindak pidana kesusilaan, perdagangan perempuan dan anak
sesuai dengan arah kebijaksanaan negara melalui program legislasi dengan
menuntaskan Rancangan Undang-undang menjadi Undang-undang yaitu:
a. Rancangan Undang-undang tentang KUHP yang disempurnakan.
b. Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
c. Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
d. Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Perdagangan (trafficking)
Perempuan dan Anak.
e. Rancangan Undang-undang tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar
negeri.
f. Rancangan Undang-undang tentang Anti Diskriminasi Suku, Agama dan Ras.
2. Untuk keberhasilan dan pembangunan berkelanjutan mengenai kemitrasejajaran
gender, hendaknya pemerintah dapat menegakkan hukum secara konsisten untuk
lebih menjamin kepastian hukum, mengembangkan peraturan-peraturan agar
pemberdayaan perempuan dapat dilaksanakan untuk meningkatkan kwalitas hidup.
kesejahteraan kehidupan keluargadan masyarakat.
3. Melaksanakan sepenuhnya Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
4. Agar supaya menyempurnakan sistem peradilan pidana untuk mewujudkan Integrated
Criminal Justice System.
5. Menggalakkan sosialisasi peran yurisprudensi untuk lebih dapat dimanfaatkan bagi
pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan
masyarakat dalam pembangunan yang berkesinambungan.
6. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan kaum perempuan dengan sistem
pendidikan biaya ringan, bila dimungkinkan dengan pemberian bea stswa.
7. Penerapan dan Penegakan Hukum serta budaya hukum dilaksanakan secara
konsekwen dengan kesadaran yang tinggi dari masyarakat dan kaum perempuan
termasuk para aparat penegak hukum serta aparat penyelenggara negara.
DAFTAR PUSTAKA
1. Achie Sudiart Luhulima, Analisis dan Pemikiran Pengembangan Produk dan
Proses Hukum yang Adil Gender, Benih Bertumbuh Kumpulan Karangan untuk
Prof. Tapi Omas Ihromi, Jogjakarta, Galang Press.
2. Isbodroini Suyanto, Ideologi Patriarki yang Tercermin dalam Berbagai Struktur
Masyarakat. Jogjakarta, Benih Bertumbuh Kumpulan Karangan untuk Prof. Tapi
Omas Ihromi, Galang Press.
3. 10 tahun Pogram Studi Kajian Wanita (2000). Perempuan Indonesia Dalam
Masyarakat Yallg Tengah Bembah. Ratna Batara Munti. Aturan Hukum
tentangPerkawinan dan Implikasjnya pada Perempuan. Jakarta. Program Studi
Kajian Wanita.
4. Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi (1995). Kajian Wanita dalam Pembangunan,
Penggunaan Hukum sebagai Alat dalam Upaya Perbaikan Kedudukan Wanita,
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
5. AS Hikam, Tehnologi Masih diDominasi oleh Laki-Iaki, Jurnal Perempuan 18
(2001), Perempuan & Tehnologi Pembebasan? Jakarta. Yayasan Jurnal
Perempuan.
6. Erna Sofwan Sjukrie, SH. Makalah Peran Hakim dalam Mewujudkan Keadilan
Gender, Lokakarya ‘Hak Perempuan dan Peran Penegak Hukum’. Kerjasama
Mahkamah Agung RI dengan Kelompok Kerja Convention Watch, Jakarta 14-15
Agustus 2001.
7. Nursyahbani Katjasungkana, Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia.
8. Salahudin Wahid, Peran Politik Perempuan Indonesia, Antara Kesempatan dan
Kemampuan, Kompas Senin 30 Juni 2003.
1. Achie Sudiart Luhulima, Analisis dan Pemikiran Pengembangan Produk dan
Proses Hukum yang Adil Gender, Benih Bertumbuh Kumpulan Karangan untuk
Prof. Tapi Omas Ihromi, Jogjakarta, Galang Press.
2. Isbodroini Suyanto, Ideologi Patriarki yang Tercermin dalam Berbagai Struktur
Masyarakat. Jogjakarta, Benih Bertumbuh Kumpulan Karangan untuk Prof. Tapi
Omas Ihromi, Galang Press.
3. 10 tahun Pogram Studi Kajian Wanita (2000). Perempuan Indonesia Dalam
Masyarakat Yallg Tengah Bembah. Ratna Batara Munti. Aturan Hukum
tentangPerkawinan dan Implikasjnya pada Perempuan. Jakarta. Program Studi
Kajian Wanita.
4. Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi (1995). Kajian Wanita dalam Pembangunan,
Penggunaan Hukum sebagai Alat dalam Upaya Perbaikan Kedudukan Wanita,
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
5. AS Hikam, Tehnologi Masih diDominasi oleh Laki-Iaki, Jurnal Perempuan 18
(2001), Perempuan & Tehnologi Pembebasan? Jakarta. Yayasan Jurnal
Perempuan.
6. Erna Sofwan Sjukrie, SH. Makalah Peran Hakim dalam Mewujudkan Keadilan
Gender, Lokakarya ‘Hak Perempuan dan Peran Penegak Hukum’. Kerjasama
Mahkamah Agung RI dengan Kelompok Kerja Convention Watch, Jakarta 14-15
Agustus 2001.
7. Nursyahbani Katjasungkana, Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia.
8. Salahudin Wahid, Peran Politik Perempuan Indonesia, Antara Kesempatan dan
Kemampuan, Kompas Senin 30 Juni 2003.
PERATURAN - PERATURAN
1. UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap
(Pertama 1999 - Keempat 2002).
2. GBHN TAP Mo. IV/MPR/1999, Arah Kebijakan Pemerintah di bidang Hukum;
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Karangan R, Susilo.
4. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
5. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Edisi Revisi.
6. UU RI No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
7. UU RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
8. UU RI No.7 Tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).
9. UU RI No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
10. UU RI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
11. UU RI No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
12. UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
13. Majelis Umum PBB Tahun 1993 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan.
14. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
15. Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional.
16. Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 tentang Tatacara Perlindungan Terhadap
Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
17. Keputusan Presiden RI No.88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan
Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (RANP3A).
1. UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap
(Pertama 1999 - Keempat 2002).
2. GBHN TAP Mo. IV/MPR/1999, Arah Kebijakan Pemerintah di bidang Hukum;
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Karangan R, Susilo.
4. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
5. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Edisi Revisi.
6. UU RI No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
7. UU RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
8. UU RI No.7 Tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).
9. UU RI No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
10. UU RI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
11. UU RI No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
12. UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
13. Majelis Umum PBB Tahun 1993 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan.
14. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
15. Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional.
16. Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 tentang Tatacara Perlindungan Terhadap
Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
17. Keputusan Presiden RI No.88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan
Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (RANP3A).
0 komentar:
Posting Komentar